07 April 2011

HAKEKAT KOALISI

Akhirnya cerita "sinetron politik berjudul pecahnya koalisi, reshufle menanti" berakhir antiklimakas dalam pentas politik nasional yang baru-baru ini dipentaskan. Antiklimaks karena ternyata SBY akhirnya lebih memilih mempertahankan koalisi dengan tidak ditendangnya Golkar dan PKS yang nyata-nyata melakukan pembangkangan terhadap arus kehendak mitra koalisi.

Dimulai sebenarnya pada kasus Century, kenakalan Golkar dan PKS sudah merepotkan mitra koalisi,bahkan ancaman reshufle sudah didengungkan oleh Partai Demokrat pasca perhelatan centurygate tersebut, tetapi hasilnya kegeraman PD tak disambut oleh SBY. Koalisi jalan terus bahkan tanpa ada statement kekecewaan apapun dari SBY atas peristiwa rapuhnya koalisi jilid pertama itu.

Klimaksnya saat hak angket mafia pajak digulirkan, walaupun yang menginisiasi awal adalah Partai Demokrat, tetapi ternyata ditengah jalan justru PD lah yang menjadi aktor utama penolak hak angket mafia pajak dan akhirnya diiikuti oleh seluruh partai mitra koalisi yang tergabung dalam Setgab, kecuali Golkar dan PKS. Dengan alasan bahwa hak angket mafia pajak adalah instrumen untuk membongkar mafia pajak di republik ini yang tentunya akan mewujudkan good governance dan itu artinya semangat atas substansi koalisi kehendak untuk menciptakan pemerintahan yang bersih bakal terwujud. Atas dasar inilah, Golkar dan PKS bersikukuh bahwa konsistensi dalam mendukung hak angket mafia pajak bukanlah suatu pengkhianatan atas koalisi,tetapi sebaliknya memperkuat hakekat visi koalisi itu sendiri.

Tetapi yang muncul menjadi arus utama dan mengemuka di publik adalah soal pengkhianatan atas koalisi. Para politisi muda Demokrat seperti Ikhsan Modjo,Ulil Absar Abdalla, Saan Mustofa dan bahkan ketua umumnya Anas Urbaningrum berada dalam garda terdepan untuk bertindak sangat keras agar Golkar dan PKS segera hengkang dari koalisi. Bahkan secara berani mengobral ke publik bahwa Presiden akan segera merombak koalisi dan segera mereshufle kabinet yang pada intinya akan mendepak Golkar dan PKS dari koalisi, dan akan digantikan oleh Gerindra dan PDIP. Tentunya tindakan para politisi muda Demokrat ini seakan mendikte kebijakan SBY bahkan cenderung mengadu domba antara istana dan Golkar-PKS. Tidak hanya itu, kekesalan Politisi muda Demokrat ini,seakan sudah tak terkendali saat Ulil Absar Abdala yang juga salah satu tokoh Jaringan Islam Liberal membuat pernyataan yang kontraproduktif dengan menyatakan bahwa kehadiran PKS sejak awal adalah sebuah kesalahan karena mengaburkan citra Demokrat dan SBY yang pluralis dan Berbhineka Tunggal Ika. Tentunya pernyataan ini sungguh diluar koridor visi koalisi, bahkan cenderung tendensius terhadap PKS.

Pernyataan Ulil ini ditanggapi sinis oleh PKS, yang menyebut justru Elit Demokratlah yang memprovokasi SBY dan menghadapkan pada situasi yang bisa meruntuhkan kewibawaan presiden. Saya tidak tahu apa yang ada dalam benak SBY soal konflik ini, tapi yang kita bisa tangkap adalah pernyataan yang pada akhirnya adalah koalisi tetap dipertahankan tanpa mengeluarkan Golkar dan PKS, sekaligus menyebut bahwa seakan-akan ada yang memaksa dan membuat situasi agar SBY segera melakukan reshuffle.

Lalu apa yang akan terjadi kemudian pasca dipertahankan koalisi ini? Padahal setidaknya ada 3 peristiwa politik lagi yang diprediksi akan memunculkan terulangnya pembangkangan mitra koalisi ini? Yang pertama adalah soal RUUK Yogyakarta,Golkar dan PKS sudah sejak awal menyatakan dukungan terhadap penetapan Sultan untuk menjadi Gubernur, Bahkan PKS melalui sikap resminya saat Mukernas di yogyakarta didepan Sultan Hamengkubuwono X secara terang-terangan mendukung penetapan, sikap ini tentunya sangat bertentangan dengan Partai Demokrat dan pemerintah. Kedua soal rencana pemerintah menaikan harga BBM,nampaknya kembali PKS akan kembali berbeda haluan dengan mitra koalisi, dan kembali akan seirama dengan partai oposisi PDIP. Dan yang terakhir soal RUU politik, yang tentunya hal ini akan mencairkan suasana koalisi dan rentan akan rontoknya mitra koalisi.

Lalu apakah proyeksi pecahnya koalisi kembali akan menjadi sorotan utama politik nasional?apakah reshufle akan menjadi gertakan kosong atau betul-Betul dilaksanakan? yang pasti rakyat sudah muak akan konflik ini,karena tentunya konflik ini adalah barang mewah untuk dinikmati bagi rakyat,karena ini tak akan memberikan implikasi positif bagi rakyat.Lalu apakah ada cara agar konflik koalisi tak akan tersaji secara vulgar kembali?

Sebenarnya konflik koalisi terjadi karena terjadinya ketimpangan pemahaman akan hakekat koalisi itu sendiri. Saya menilai kebanyakan politisi yang tergabung dalam koalisi ini beranggapan koalisi itu adalah “satu kata” tanpa memperhatikan aspek yang menjiwai makna satu kata tersebut. Karena jika tak ada penjiwaan akan makna satu kata itulah,koalisi berubah menjadi akuisisi yang tentunya inilah akar dari masalah konflik koalisi itu.

Lalu bagaimana “satu kata” itu harus dijiwai? Ada 4 hal yang harus dijiwai dalam proses koalisi,yang pertama adalah berkoalisi itu bermakna berkehendak sama,memiliki cara pandang yang tunggal terhadap target berkoalisi itu,dan memiliki tujuan serta visi yang sama. Ini adalah hal yang paling fundamental dalam berkoalisi, biasanya penjiwaan ini relatif mudah untuk disatukan.

Kedua soal teknis komunikasi berkoalisi. Wajib hukumnya, komunikasi itu sifatnya transparan,tak ada hal yang ditutupi,dan tentunya intensif. Tak bisa proses komunikasi itu satu arah,tetapi harus dua arah dan tentunya didasarkan pada argumentasi yang lugas bukan emosional. Fungsi komunikasi transparan adalah agar koalisi itu akan terkondisikan layaknya dapur yang meracik untuk menyajikan masakan yang bisa dinikmati oleh pelanggan dan tentunya memuaskan.

Ketiga adalah soal suasana egaliter. Ini menjadi syarat psikologis yang fatal jika tak direalisasikan. Pimpinan koalisi bukanlah lebih tinggi dari mitranya,tetapi sebagai peran manajerial yang membuat agar peserta koalisi merasa nyaman karena eksistensi dalam koalisi menjadi sangat signifikan untuk dirasakan oleh peserta koalisi. Coba perhatikan pernyataan beberapa kali yang disampaikan oleh Golkar dan PKS yang secara tegas selama ini tanpa ada pembicaraaan internal di koalisi tiba-tiba ada keputusan koalisi yang wajib diikuti,dan itu langsung disampaikan dipublik, sehingga ada kekagetan diantara mereka. Tentunya disini adalah eksistensi peserta koalisi menjadi tergadaikan tergantikan instruksi atasan bawahan yang pada akhirnya membuat tidak nyaman peserta koalisi.

Terakhir adalah soal indepedensi. Koalisi bukanlah soal pemaksaan akan sikap akhir politik,tetapi tetap mengacu pada soal visi dan ideologi masing-masing peserta koalisi. Makanya koalisi itu sifatnya adalah cair,berumur pendek,dan tentunya tak bisa menjadi alat stempel kebijakan. Indepedensi disini bermakna pula tak ada jalur komando struktural yang menjadikan adannya intervensi dari peserta koalisi. Independensi disini juga harus diartikan sebagai keselarasan antara visi partai itu sendiri dengan kesatuan kehendak kolektif.

Jadi yang dimaksud dengan hakekat koalisi adalah tercapainya kehendak dan visi yang sama atas suatu hal,terjalinnya komunikasi transparan dan intensif dengan tetap saling menjaga suasana egaliter antar sesama mitra koalisi sehingga terwujudnya keselaran visi partai dengan kehendak kolektif koalisi.

Saya yakin jika empat penjiwaaan itu bisa dijaga dan menjadi kultur dalam berkoalisi,maka tak akan ada lagi menu konflik koalisi,tak perlu lagi saling gertak dan saling ancam mengancam antar mitra koalisi. Sekali lagi,jika ini dipegang teguh maka,koalisi akan menjadi sangat produktif dan tentunya rakyat akan lebih menganggap elitnya telah mampu dewasa dalam berpolitik. Wallahu a'lam

Penulis:
Muhammad Ikhlas Thamrin,SH
Ketua Bidang Politik, Hukum dan Pemerintahaan DPD PKS Solo
Baca Selengkapnya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar