21 April 2011

AYO PUTIHKAN KOTABARAT

Muhasabah dan Dzikir Akbar
Ahad, 24 April 2011 
06.00 WIB - 12.00 WIB
Lapangan Kota Barat - Surakarta
Baca Selengkapnya..

Ibu Kita Kartini & Islam: Minadzdzulumati ilan-Nuur

Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Sejak itu Kartini bertekad untuk berupaya untuk memperbaiki citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah.
....

Waktu SMP dulu saya pernah membaca buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berisi kumpulan surat-surat Kartini (sekarang buku itu entah dimana L). Meski dulu saya belum begitu faham benar dengan isi buku itu, ada beberapa isi surat yang waktu itu agak ‘mengganggu’ pikiran saya ketika Kartini bersinggungan dengan Islam.

Saya baru-baru ini mendapati beberapa posting yang membahas surat-surat itu serta transformasi spiritual Kartini, saya coba sarikan.

Persinggungan awal Kartini dengan Islam dapat dibaca dari surat-surat berikut:

“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]

Untuk ukuran seorang perempuan dan ukuran zaman itu (bahkan ukuran zaman sekarang sekalipun) pendapat Kartini ini benar-benar sangat kritis dan sangat berani.

Suatu ketika, takdir membawa Kartini pada suatu pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat yang juga adalah pamannya. Pengajian dibawakan oleh seorang ulama bernama Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar(atau dikenal Kyai Sholeh Darat) tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertarik sekali dengan materi yang disampaikan (ini dapat dipahami mengingat selama ini Kartini hanya membaca dan menghafal Quran tanpa tahu maknanya). Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Berikut ini dialog-nya (ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat).

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”

Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.

“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”. Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.

“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Setelah pertemuan itu nampaknya Kyai Sholeh Darat tergugah hatinya. Beliau kemudian mulai menuliskan terjemah Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada pernikahan Kartini , Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa.

Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena Kartini merasakan sendiri proses perubahan dirinya, dari kegelisahan dan pemikiran tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah (how amazing…).

Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. (Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda adalah “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang”).

Nampaknya masa-masa ini terjadi transformasi spiritual bagi Kartini. Pandangan Kartini tentang Barat-pun mulai berubah, setelah sekian lama sebelumnya dia terkagum dengan budaya Eropa yang menurutnya lebih maju dan serangkaian pertanyaan-pertanyaan besarnya terhadap tradisi dan agamanya sendiri.

Ini tercermin dalam salah satu suratnya:

“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]

“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan” (surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 10 Juni 1902)

Kartini juga menentang semua praktek kristenisasi di Hindia Belanda :

“Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? …. Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903]

Bahkan Kartini bertekad untuk berupaya untuk memperbaiki citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan :

“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].

Di surat-surat lain :

“Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 5 Maret 1902)

“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdulloh).” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 1 Agustus 1903)

“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Alloh, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.” (surat Kartini kepada Nyonya Abandanon, 1 Agustus 1903)

“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia punm ia sebenar-benarnya bebas” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900)

*)sumber: http://bimasislam.kemenag.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=230&catid=49:artikel
Baca Selengkapnya..

19 April 2011

Sikap Kita Terhadap Fitnah

Oleh :Ustad Salman Syarifudin, MA

Arahan surat An-Nur tentang fitnah

“Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa perbuatan mereka itu membawa akibat buruk bagi kamu, bahkan itu membawa kebaikan bagimu. Setiap orang akan mendapatkan hukuman dari sebab dosa yang dibuatnya itu. Dan orang yang mengambil bagian terbesar akan mendapatkan siksaan yang besar pula.”(Q.S:24:11)

Pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat di atas diantaranya:

1. Penyebar fitnah itu bagian dari kaum muslimin.
2. Rangkaian fitnah itu jangan disangka berakibat buruk bagimu.
3. Ujian berupa fitnah tersebut berdampak baik untuk kaum muslimin.
4. Penyebar fitnah akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan perbuatannya.
5. Aktor dari penyebar fitnah itu akan mendapatkan ganjaran yang besar.

Sikap kita terhadap rangkaian fitnah menurut surat An-Nur 11-16

1. Berbaik sangka terhadap orang yang difitnah.
2. Membentengi diri dengan mengatakan bahwa ini merupakan kebohongan besar.
3. Harus ada bukti disertai sikap tabayyun.
4. Bersikap untuk tidak menyebarkannya karena merasa tidak berhak.
5. Memperbanyak zikir.

Kisah fitnah dalam sirah

Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy dalam bukunya Fiqih Sirah yang diterjemah oleh Aunur Rafiq Shaleh Tamhid menceritakan kepada kita tentang berita bohong (haditsul ifki), sebagaiberikut:

“ Dalam perjalanan pulang kaum muslimin dari perang Bani Mustahliq, tersiar berita bohong bertujuan merusak keluarga Nabi Saw. Aisyah Ra meriwayatkan bahwa dalam perjalanan ini ia ikut keluar bersama Rasulullah Saw. Aisyah Ra berkata: “Setelah selesai dari peperangan ini, Rasulullah Saw bergegas pulang dan memerintahkan orang-orang agar segera berangkat di malam hari. Di saat semua orang sedang berkemas-kemas hendak berangkat, aku keluar untuk membuang hajat, aku terus kembali hendak bergabung dengan rombongan. Pada saat itu kuraba-raba kalung leherku, ternyata sudah tak ada lagi. Aku lalu kembali lagi ke tempat aku membuang hajatku tadi untuk mencari kalung hingga dapat kutemukan kembali.

Di saat aku sedang mencari-cari kalung, datanglah orang-orang yang bertugas melayani unta tungganganku. Mereka sudah siap segala-galanya. Mereka menduga aku berada di dalam haudaj (rumah kecil terpasang di atas punggung unta) sebagaimana dalam perjalanan, oleh sebab itu haudaj lalu mereka angkat kemudian diikatkan pada punggung unta. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa aku tidak berada di dalam haudaj. Karena itu mereka segera memegang tali kekang unta lalu mulai berangkat.


Ketika aku kembali ke tempat perkemahan, tidak aku jumpai seorang pun yang masih tinggal. Semuanya telah berangkat. Dengan berselimut jilbab aku berbaring di tempat itu. Aku berfikir, pada saat mereka mencari-cari aku tentu mereka akan kembali lagi ke tempatku. Demi Allah, di saat aku sedang berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Mu‘atthal lewat. Agaknya ia bertugas di belakang pasukan. Dari kejauhan ia melihat bayang-bayangku. Ia mendekat lalu berdiri di depanku, ia sudah mengenal dan melihatku sebelum kaum wanita dikenakan wajib berhijab. Ketika melihatku ia berucap: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un! Istri Rasulullah?“ Aku pun terbangun oleh ucapan itu. Aku tetap menutup diriku dengan jilbabku .. Demi Allah, kami tidak mengucapkan satu kalimat pun dan aku tidak mendengar ucapan darinya kecuali ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un itu. Kemudian dia merendahkan untanya lalu aku menaikinya. Ia berangkat menuntun unta kendaraan yang aku naiki sampai kami datang di Nahri Adh-Dhahirah tempat pasukan turun istirahat. Di sinilah mulai tersiar fitnah tentang diriku. Fitnah ini bersumber dari mulut Abdullah bin Ubay bin Salul.

Aisyah Ra melanjutkan : Setibanya di Madinah kesehatanku terganggu selama sebulan. Saat itu rupanya orang-orang sudah banyak berdesas-desus berita bohong itu, sementara aku belum mendengar sesuatu mengenainya. Hanya saja aku tidak melihat kelembutan dari Rasulullah Saw, yang biasa kurasakan ketika aku sakit. Beliau hanya masuk lalu mengucapkan salam dan bertanya: “Bagaimana keadaanmu?“ Setelah agak sehat aku keluar pada suatu malam bersama Ummu Masthah untuk membuang hajat. Waktu itu kami belum membuat kakus. Di saat kami pulang, tiba-tiba kaki Ummu Mastha terantuk sehingga kesakitan dan terlontar ucapan dari mulutnya: “Celaka si Masthah!“ Ia kutegur: “Alangkah buruknya ucapanmu itu mengenai seorang dari kaum Muhajirin yang turut serta dalam perang Badr?“ Ummu Masthah bertanya :“Apakah anda tidak mendengar apa yang dikatakannya?“ Aisyah Ra melanjutkan: Ia kemudian menceritakan kepadaku tentang berita bohong yang tersiar sehingga sakitku bertambah parah … Malam itu aku menangis hingga pagi hari, air mataku terus menetes dan aku tidak dapat tidur.

Kemudian Rasulullah Saw mulai meminta pandangan para sahabatnya mengenai masalah ini. Di antara mereka ada yang berkata: “Wahai Rasulullah mereka (para istri Nabi) adalah keluargamu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan.“ Dan ada pula yang mengatakan: “Engkau tak perlu bersedih, masih banyak wanita (lainnya). Tanyakan hal itu kepada pelayan perempuan (maksudnya Barirah). Ia pasti memberi keterangan yang benar kepada anda!“

Rasulullah Saw lalu memanggil pelayan perempuan bernama Barirah, dan bertanya: “Apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakan dari Aisyah?“ Ia mengabarkan kepada Nabi Saw, bahwa ia tidak mengetahui Aisyah kecuali sebagai orang yang baik-baik. Kemudian Nabi Saw berdiri di atas mimbar dan bersabda:

“Wahai kaum Muslimin! Siapa yang akan membelaku dari seorang lelaki yang telah menyakiti keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari keluargaku kecuali yang baik. Sesungguhnya mereka telah menyebutkan seorang lelaki yang aku tidak mengenal lelaki itu kecuali sebagai orang yang baik.“

Sa‘ad bin Muadz lalu berdiri seraya berkata: “Aku yang akan membelamu dari orang itu wahai Rasulullah Saw! Jika dia dari suku Aus, kami siap penggal lehernya. Jika dia dari saudara kami suku Khazraj maka perintahkanlah kami, kami pasti akan melakukannya.“ Maka timbullah keributan di masjid sampai Rasulullah Saw meredakan mereka.

Aisyah Ra melanjutkan: “Kemudian Rasulullah Saw datang ke rumahku. Saat itu ayah-ibuku berada di rumah. Ayah-ibuku menyangka bahwa tangisku telah menghancurluluhkan hatiku. Sejak tersiar berita bohong itu Nabi Saw tidak pernah duduk di sisiku. Selama sebulan beliau tidak mendapatkan wahyu tentang diriku. Aisyah Ra berkata: “Ketika duduk Nabi Saw membaca puji syukur ke hadirat Allah Swt lalu bersabda: “Hai Aisyah, aku telah mendengar mengenai apa yang dibicarakan orang tentang dirimu. Jika engkau tidak bersalah maka Allah Swt, pasti akan membebaskan dirimu. Jika engkau telah melakukan dosa maka mintalah ampunan kepada Allah Swt dan taubatlah kepada-Nya.“ Seusai Rasulullah Saw mengucapkan ucapan itu, tanpa kurasakan air mataku tambah bercucuran. Kemudian aku katakan kepada ayahku: “Berilah jawaban kepada Rasulullah Saw mengenai diriku“ Ayahku menjawab: “Demi Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab.“ Aku katakan pula kepada ibuku: “Berilah jawaban mengenai diriku.“ Dia pun menjawab: “Demi Allah aku tidak tahu bagaimana harus menjawab:“ Lalu aku berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kalian telah mendengar hal itu sehingga kalian telah membenarkannya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah kalian pasti tidak akan membenarkannya. Jika aku mengakuinya Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah, pasti kalian akan membenarkan aku. Demi Allah aku tidak menemukan perumpamaan untuk diriku dan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh bapak Nabi Yusuf As : “Sebaiknya aku bersabar. Kepada Allah Swt sajalah aku mohon pertolongan atas apa yang kalian lukiskan,“ QS Yusuf : 18

Aisyah Ra berkata : Kemudian aku pindah dan berbaring di tempat tidurku. Selanjutnya ia berkata: Demi Allah, Rasulullah Saw belum bergerak dari tempat duduknya, juga belum ada seorang pun dari penghuni rumah yang keluar sehingga Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Beliau tampak lemah lunglai seperti biasanya tiap hendak menerima wahyu Ilahi, keringatnya bercucuran karena beratnya wahyu yang diturunkan kepadanya. Aisyah berkata: Kemudian keringat mulai berkurang dari badan Rasulullah Saw lalu beliau tampak tersenyum. Ucapan yang pertama kali terdengar ialah: “Bergembiralah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membebaskan kamu.“ Kemudian ibuku berkata: “Berdirilah (berterimahkasihlah) kepadanya.“ Aku jawab :”Tidak! Demi Allah, aku tidak akan berdiri (berterima kasih) kepadanya (Nabi Saw) dan aku tidak akan memuji kecuali Allah. Karena Dialah yang telah menurunkan pembebasanku.“ Aisyah Ra berkata: Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar…. Sampai dengan ayat 21 … „ QS an-Nur : 11-21

Aisyah melanjutkan: Sebelum peristiwa ini ayahku membiayai Mastha karena kekerabatan dan kemiskinannya. Tetapi setelah peristiwa ini ayahku berkata: Demi Allah, saya tidak akan membiayainya lagi karena ucapan yang diucapkan kepada Aisyah. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya). Orang –orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ QS An-Nur : 22
Lalu Abu Bakar berkata : Demi Allah, sungguh aku ingin mendapatkan ampun Allah. Kemudian ia kembali membiayai Masthah.

Kemudian Nabi Saw keluar dan menyampaikan khutbah kepada orang-orang dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diturunkan mengenai masalah ini. Selanjutnya Nabi Saw memerintahkan supaya dilakukan hukum hadd (dera) kepada Masthah bin Utsatsah, Hasan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy karena mereka termasuk orang-orang yang ikut menyebarluaskan desas-desus berita fitnah tersebut.

Ibrah dari kisah

Jika kita cermati kisah berita bohong di atas, ada beberapa pelajaran tarbawi yang bisa kita ambil, diantaranya:

Pertama, fitnah itu bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Dalam kasus berita bohong ini, yang menjadi korbannya adalah Rasulullah Saw yang ketika itu sebagai panglima perang, pimpinan pemerintahan dan kepala rumah tangga. Jika Rasulullah Saw saja difitnah, konon lagi kita hamba yang tidak ma’shum ini.

Kedua, berbaik sangka terlebih dahulu dan jangan menerima isu begitu saja, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:

“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah di sisi Allah adalah pendusta.” (QS. An Nur :13)

“wahai orang-orang yangberiman, jauhilah olehmu akan buruk sangka karena sebagian dari persangkaan itu dosa. Dan janganlah mencari kesalahan dan jangan kalian saling menceritakan keburukan. Apakah salah satu diantara kamu mau memakan daging saudaranya maka tentu kamu akan meresa jijik. Dan bertaqwalah kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S.Al-Hujurat : 12)

Berita apa pun yang tidak diperkuat dengan bukti, harus ditolak oleh setiap muslim. Hendaklah pula dia menyadari bahwa menceritakan isu kepada orang lain dan menularkan berita yang tidak diperkuat dengan bukti akan mengubah statusnya menjadi pendusta. ( An-Nur 13). Ini adalah ketetapan Al-Qur’an terhadap mereka adalah pendusta di sisi Allah, sekalipun orang itu sebenarnya bukanlah yang mengada-ngada berita tersebut dan sekalipun dia sekedar menukilkan dengan sejujurnya apa yang sebenarnya dia dengar dari seseorang.

Ketiga, untuk menimbang secara cermat dalam menilai benar-tidaknya suatu isu, bandingkanlah pribadi orang yang diisukan itu dengan diri anda sendiri. Dengan demikian, pastilah anda akan tetap memercayai teman Anda itu seperti halnya memercayai diri anda sendiri. Cara menimbang seperti itu diakui dan dipuji oleh Al-Qur’an, yaitu berkenaan dengan suatu perbincangan antara Abu Ayyub Al Anshari dengan istrinya, Ummu Ayub Ra. Wanita itu berkata: ”Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan orang mengenai Aisyah?”. “Ya, tapi itu bohong,” jawab si suami, “Apakah kamu melakukannya juga, hai ummu Ayyub?”. “Tidak, demi Allah,”kata si istri, “Mengapa aku harus meniru orang-orang itu?”. Abu Ayyub menegaskan, “Demi Allah, Aisyah itu lebih baik darimu.” (Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, II/303).

Ikhwah fillah, yang masih juga menyebarluaskan isu mengenai temannya atau pemimpinnya, kiranya coba menghitung-hitung, benarkah temannya atau pemimpinnya itu lebih jelek perhatiannya terhadap agama ketimbang dirinya dan benarkah keduanya lebih rapuh kepatuhannya kepada agama dan lebih rendah budinya ketimbang dirinya? Andaikan menimbang diri seperti itu dia lakukan pastilah prasangka buruk itu akan musnah dari pikirannya dan robohlah kabar bohong itu sampai ke akar-akarnya.

Keempat, jangan sekali-kali membiarkan hawa nafsu ikut campur dan berperan dalam menyelesaikan soal tersebarnya kabar bohong. Ada dua contoh yang saling berlawanan berkenaan dengan berita bohong tersebut di atas. Yang satu lebih suka memperturutkan hawa nafsu, sedangkan yang lain tidak. Dua contoh itu ditampilkan oleh dua wanita muslimat bersaudara kandung. Yang pertama ialah Zainab binti Jahsy Ra, salah seorang istri Rasulullah Saw dan yang kedua ialah Hamnah binti Jahsy Ra.

Al Muqrizi telah meriwayatkan dari Zainab tentang dialog yang dilakukannya dengan Rasulullah Saw, di mana istri yang baik budi itu mengatakan kepada suaminya, “Terpeliharalah kiranya pendengaranku dan penglihatanku. Aku tidak melihat pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Demi Allah, aku tak pernah mengajaknya bicara dan aku memang benar-benar mendiamkannya, tetapi aku hanya mengatakan yang benar.” (Al Muqrizi, Imta’ul Asma’ 1/208).

Jika seorang ‘madu’ sedemikian hebatnya mampu menahan hawa nafsunya untuk tidak ikut-ikut menyebarkan isu, itu menunjukkan betapa tinggi derajat keluhuran budi yang telah dicapai oleh wanita Muslimat ini. Kemudian menyatakan bahwa Zainab sama sekali tidak terlibat dalam menyebarkan berita bohong ini. Dalam suatu pembicaraan, Aisyah Ra bahkan pernah mengatakan, “Tidak seorang pun yang menyaingiku di sisi Rasulullah Saw selain Zainab binti jahsy.” Dengan pernyataan ini, agaknya Aisyah menempatkan Zainab pada posisinya secara tepat dalam persaingannya dengan dirinya sebagai sesama istri Rasulullah Saw. Namun demikian, dia tidak berkeberatan untuk memuji madunya itu berkenaan dengan kasus berita bohong tersebut. Aisyah mengatakan, “Adapun Zainab benar-benar dipelihara Allah, berkat kepatuhannya kepada agamanya. Dia tidak berkata apa-apa.”

Lain halnya dengan sikap kedua yang ditunjukkan oleh Hammah, saudara perempuan kandung Zainab. Dia justru ikut menyebarluaskan berita bohong itu dari rumah ke rumah, seolah-olah tak ada halangan apa pun di depan matanya, meski semua itu sebenarnya dia lakukan demi membela posisi Zainab di sisi Rasulullah Saw. Sampai-sampai Aisyah berkata, menanggapi perbuatan saudara madunya itu, “Adapun saudara perempuan Zainab, Hammah, dia menyebarkan berita bohong itu seluas-luasnya. Dia melawan aku demi saudaranya. Tapi gara-gara itu, dia celaka.”

Bagaimanapun, kita kagum sekali kepada Aisyah Ra. Karena ternyata dia mampu membedakan antara dua sikap yang berbeda dari kedua wanita bersaudara kandung itu dan sama sekali tidak menimpakan kepada Zainab kesalahan yang dilakukan saudaranya itu.

Kelima, beban terberat dalam mengahdapi haditsul-ifki adalah sikap yang mesti diambil oleh orang yang diisukan.

Adapun manhaj yang harus menjadi pegangan dalam hal ini ialah janganlah membalas berita bohong dengan berita bohong yang lain dan janganlah membalas isu yang dusta dengan isu lain yang serupa. Hendaklah pula orang yang diisukan itu mampu menahan diri. Maksudnya, jangan membiarkan lidahnya berbicara yang melanggar kehormatan orang lain, sekalipun orang lain itu telah menganiaya dirinya, sampai terbukti dirinya benar dan tidak bersalah. Inilah sikap yang sangat penting, yang kita serukan kepada siapa pun yang sedang terkena isu. Kita perhatikan teladan yang baik yang telah dicontohkan oleh tiga contoh yang terlanggar kehormatannya dalam kasus haditsul ifki tersebut di atas.

Muhammad Rasulullah Saw, junjungan seluruh umat manusia, yang diwaktu itu beliau juga berstatus sebagai panglima, kepada negara, dan pemegang kekuasaan. Dengan hanya satu isyarat saja dari beliau, sebenarnya dapat saja melayang nyawa siapa pun yang berani mempecundangi kehormatan beliau. Namun demikian, dalam menghadapi masalah ini -setelah bermusyawarah dengan para sahabatnya yang terkemuka- beliau hanya berpidato di hadapan kaum muslimin di atas mimbar seraya berpesan, setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, “Hai sekalian manusia, mengapa ada orang-orang yang menyakitiku mengenai keluargaku dan mengatakan yang tidak benar mengenai mereka. Demi Allah, aku lihat keluargaku baik-baik saja. Orang-orang itupun mengatakan pula hal yang serupa terhadap seorang lelaki, yang demi Allah, aku lihat dia pun baik-baik saja dan dia tak pernah masuk ke salah satu rumah di antara rumah-rumah (keluarga)ku kecuali bersamaku.”

Begitu pula terjadi suatu krisis hubungan antara dua kelompok, Aus dan Khazraj, berkenaan dengan berita bohong ini, Rasulullah Saw tak lebih hanya menjadi penengah, sekalipun salah satu pihak menyatakan pembelaannya terhadap orang-orang yang terlibat dalam mencaci maki Aisyah sedang yang lain menyerangnya dengan berbagai tuduhan. Walaupun demikian, beliau hanya meredakan emosi masing-masing dan tidak berpihak kepada siapapun karena beliau tidak memiliki bukti-bukti untuk membantah pihak yang menuduh. Walaupun ketika Shafwan Ra melampiasakan kekesalannya yang amat sangat dalam membela dirinya, lalu dipukulnya Hasan bin Tsabit atas tuduhannya, Rasulullah Saw tetap tidak mendorongnya atau pun memberinya semangat untuk meneruskan tindakannya itu selagi belum ada bukti, padahal beliau tengah berupaya membersihkan segala tuduhan atas diri orang yang paling ia cintai, Aisyah Ra.

Pada waktu itu, Hassan maupun Shafwan telah hadir di hadapan Rasulullah Saw. Marilah kita perhatikan pengadilan yang tenang itu terhadap dua orang prajurit yang telah bertindak melampaui batas. Shafwan Ibnul Mu’athal berkata, “Ya Rasul Allah, dia telah menyakiti hatiku dan mengejekku, lalu aku marah sampai aku memukulnya.” Bersabdalah Rasulullah Saw kepada Hassan, “Bersikap baiklah kamu hai Hassan, Tegakah kamu menjelek-jelekkan kaumku, padahal Allah telah menunjuki mereka kepada Islam?” Beliau lalu menasehatinya pula seraya bersabda, “Berbuat baiklah kamu, hai Hassan, mengenai pukulan yang telah menimpa dirimu.” Hassan pun menerima nasihat beliau, lalu dia serahkan diyat (denda) atas pukulan itu kepada beliau, seraya berkata, “Diyat-nya untukmu wahai Rasul Allah.” Menurut riwayat Ibnu Ishak, “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Ibrahim bahwa Rasulullah Saw kemudian memberi Hassan sebidang tanah sebagai pengganti dari diyatnya itu dan ditambahnya pula dengan seorang budak wanita mesir bernama Sirin. Wanita itu dikemudian hari melahirkan untuknya seorang anak bernama Abdurrahman bin Hassan.” (Ibnu Hisyam, II/305-306)

Demikian pukulan yang di lakukan Shafwan terhadap Hassan telah dibayar dengan sebidang tanah dan seorang budak wanita. Rasulullah-lah yang membayarnya kepada Hassan bin Tsabit, setelah dia menyatakan memberi maaf kepada Shafwan Ibnu Mu’aththal, padahal orang yang diberi itu tadinya telah mengubah sya’ir yang berisi tuduhan terhadap istri beliau sendiri dan dengan sya’irnya itu ia pergi ke mana-mana menyebarluaskan isu itu tanpa henti.

Abu Bakar Ra dan istrinya, Ummu Ruman. Mereka berdua telah mendapat cobaan luar biasa yang tak pernah menimpa seorang Muslim lainnya. Walau demikian, yang dikatakan oleh ibu yang penyabar itu, yang telah dipecundangi kehormatannya, dikecam dan dihina, tak lebih dari, “Anakku, tenangkan dirimu. Demi Allah, seorang wanita cantik menjadi istri seorang lelaki yang mencintainya, sedangkan isteri-isterinya pun banyak, jarang sekali yang luput dari omongan-omongan yang di lontarkan oleh isteri-isterinya maupun oleh orang lain.” Adapun Abu Bakar Ra tak bisa berbicara apa-apa selain, “Saya tak pernah melihat satupun keluarga di kalangan bangsa Arab yang mengalami cobaan seperti yang dialami keluarga Abu bakar. Demi Allah, omongan-omongan ini tak pernah di ucapkan orang terhadap kami di zaman Jahiliyah, di kala kami tidak menyembah Allah. Tetapi, di masa Islam, justru kami mengalaminya!”

Aisyah, yang tak henti-hentinya menangis sehingga dia yakin tangis itu akan menghentikan detak jantungnya. Ketika dia berhadapan dengan Rasulullah Saw dan beliaupun menanyakan kepadanya mengenai berita itu, dan dia hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku, demi Allah, telah tahu betul bahwa tuan-tuan telah mendengar berita ini, lalu hati tuan tuan-tuan termakan olehnya lalu mempercayainya. Jadi, kalaupun aku katakan kepada tuan-tuan bahwa aku tidak bersalah, tuan-tuan takkan mempercayaiku. Kalau pun aku mengakui kepada tuan-tuan tentang sesuatu, yang Allah pasti tahu aku bersih darinya, barulah tuan-tuan akan mempercayaiku. Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak mendapatkan suatu teladan untuk diriku selain ayah nabi Yusuf ketika dia berkata, “….maka kesabaran baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah di mohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu sekalian ceritakan. (QS. Yusuf : 18).

Sungguh, itulah sikap yang tiada taranya dalam sejarah dari sebuah keluarga paling suci di muka bumi ini. Mereka dipecundangi kehormatan dan kemuliaanya, namun tidak seorang pun dari mereka yang keluar batas dan tidak terlontar sepatah kata pun dari mereka yang meninggung perasaan orang lain, bahkan masing-masing tetap mampu mengendalikan urat sarafnya. Adapun yang keluar batas hanyalah Shafwan Ibnu Mu’aththal Ra. Saking kesalnya, dia pukul Hassan dengan pedangnya dan hampir saja ketelanjurannya mengakibatkan perisyiwa besar seandainya tidak segera dilerai oleh Rasulullah Saw. Demikianlah adab Islam yang luhur terhadap orang-orang yang menyebarluaskan isu yang keliru dan berita bohong.

Keenam, menghukum orang-orang yang terpedaya yang terlibat dalam menyebarkan fitnah. Dengan demikian, berarti tidak cukup dengan pernyataan bahwa si tertuduh tidak bersalah dan menolak segala perkataan buruk yang dilontarkan kepada pihak yang terkena fitnah, lalu selesai masalah. Harus ada hukuman tegas yang dilaksanakan di tengah masyarakat muslim terhadap siapa pun yang menyebarkan isu, setelah dilakukan pemeriksaan secermat-cermatnya. Contoh, hukum Islam terhadap tiga tokoh penyebar berita bohong tersebut, Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hammah binti Jahsy, ialah dijatuhkannya hukuman had al-qadzaf kepada mereka, yakni didera delapan puluh kali, sekalipun ada sebagian riwayat yang menyatakan bahwa jenis hukuman ini baru diterapkan sesudah itu. Jadi, tidak dilaksanakan terhadap ketiga orang itu. Hal ini karena mereka melakukan tuduhan sebelum turunnya ayat mengenai hukuman-hukuman had.

Ketujuh, dari kisah ini semakin jelas pertarungan antara haq dan batil. Bahwa kebatilan akan memanfaatkan sekecil apapun kesempatan untuk memojokkan jamaah islam.

Kedelapan, marilah kita menjaga diri kita, keluarga kita dari segala macam yang membuat kita tertuduh dan terfitnah. Tentunya dengan cara meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Swt dan berupaya senantiasa merasakan kebersamaanNYA.

Ya Allah jagalah kami dengan Islam dalam keadaan berdiri. Ya Allah jagalah kami dengan Islam dalam keadaan duduk dan jagalah kami dengan Islam dalam keadaan tidur. Jangan jayakan orang-orang kafir atas kami. Amin.
Baca Selengkapnya..

Setia Hingga Akhir Dalam Keyakinan

Judul artikelku kali ini meminjam tulisan seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia bernama Wolter Monginsidi.

Menjelang ia dihukum tembak di depan regu tembak tentara Belanda, ia sempat menulis beberapa kalimat pesan-pesan terakhirnya yang bernada syair. Salah satu syair yang ia tulis dan kemudian menjadi kalimat yang selalu dikenang, adalah 'Setia Hingga Akhir Dalam Keyakinan'.


Sosok Wolter Monginsidi adalah sosok pemuda pejuang yang jantan pemberani. Hingga ia tidak mau matanya ditutup kain saat berhadapan dengan regu tembak. Ia bahkan sempat berteriak merdeka, merdeka saat delapan timah panas merobek dadanya.





Demikian sekelumit kisah patriotik seorang Wolter Monginsidi. Sengaja aku mengajakmu mengingat perjuangannya karena saat tulisan ini dibuat, ujian bagi partai dakwah PKS laksana ombak badai yang datang menghampiri silih berganti.



Ada beberapa peristiwa nyata yang aku alami, yang rasanya sedih untuk aku ceritakan tapi aku segera menemukan jawabannya. Jawabannya adalah 'Setia Hingga Akhir Dalam Keyakinan'. Berikut beberapa contohnya :



A. Di Sebuah Kantor Instansi Pemerintah.



Seorang teman bertanya padaku, " apa yang kamu udah dapatkan dari PKS, bukankah dirimu tetap saja hidup susah. Sedang yang menikmati mereka yang tidak mempedulikanmu ?, lebih baik tinggalkan PKS saja."



Aku menjawab. "Untuk PKS, aku setia hingga akhir dalam keyakinan."



B. Dalam sebuah obrolan di warung kopi.



Beberapa teman ngobrol berkata dan bertanya padaku usai membaca dan mendengar berita yang memojokkan PKS. Mereka berkata dan bertanya, " Berarti sama saja antara PKS dan partai lainnya. Lalu buat apa kita mati-matian memperjuangkannya?"



Aku menjawab, " Untuk PKS, aku setia hingga akhir dalam keyakinan."



C. Dalam sebuah obrolan di jalan dengan beberapa kawan yang aku temui, ia berkata, "Saya sibuk nggak sempat ikut-ikut acara PKS".



Aku menjawab, " Untuk PKS, aku setia hingga akhir dalam keyakinan."



Demikian beberapa contoh dari peristiwa saat loyalitas seorang kader diuji. Dengan adanya berbagai pemberitaan yang mendiskreditkan PKS, maka akan menguji loyalitas para kadernya. Sudut pandang kader dengan sudut pandang simpatisan terhadap PKS tentu berbeda.



Biarlah waktu yang akan berbicara, saat kapal PKS berlayar makin jauh melalui pasang surutnya ombak gelombang, akan terlihat siapa ? Dan mengapa ?

Karena betapa banyak orang yang kelihatannya berada di dalam kapal namun hakekatnya ia berada di luar kapal. Namun banyak pula yang terlihat berada di luar kapal sejatinya ia ada di dalam kapal.



Dirgahayu PKS . Teruskan berbhakti untuk negeri.

Sumber : http://senowidi.blogspot.com/2011/04/setia-hingga-akhir-di-dalam-keyakinan.html
Baca Selengkapnya..

16 April 2011

Berani Mundur

..lewat mundurnya Arifinto, PKS menunjukkan beda dengan partai lainnya. PKS melakukan hal yang hampir tak mungkin dilakukan partai lain. Dengan segala kekurangannya, partai ini relatif masih paling mengusung moralitas di kancah politik nasional. (Zaim Uchrowi)
...

Arifinto sungguh disayang Tuhan. Anggota DPR itu saya yakin seorang yang baik. Lebih baik dari rata-rata orang, lebih baik dari kebanyakan rekan legislatifnya. Tapi, sebaik-baik orang tentu punya kelemahan, tak terkecuali orang baik ini. Ia melakukan yang tak patut bagi orang sebaik dirinya, apalagi di tengah rapat Paripurna DPR—rapat yang semestinya diikuti cermat oleh semua pesertanya.

Allah SWT mengingatkannya lewat lensa kamera wartawan. Hal yang sesaat tentu memukul perasaannya juga perasaan rekan-rekan separtainya yang memosisikan diri untuk menegakkan moral. Pukulan tertelak tentu harus ditanggung keluarganya. Mereka tiba-tiba harus mendapat kerlingan aneh orangorang di sekitarnya. Tapi, seorang Arifinto tentu seorang realistis. Ia sadar dan siap memikul konsekuensi atas perbuatannya.

Tak banyak orang yang segera di ingatkan Tuhan begitu berbuat salah. Tak sedikit orang yang berbuat salah lebih parah dari dia, namun dibiarkan Tuhan. Banyak pejabat yang gemar berzina juga rajin menilap uang rakyat dengan berbagai cara, baik yang kasar maupun yang tampak beradab, tapi Allah membiarkannya. Mereka dibiarkan hanyut dalam perbuatan kotornya dan tak dipermudah jalannya untuk kembali menjadi orang baik.

Arifinto tidak seperti itu. Ia tidak pernah benar-benar kotor seperti banyak orang lain yang tampak baik dan terhormat —padahal tidak. Nuraninya relatif terjaga. Ketika menyadari telah melakukan hal yang tak patut, segera ia menginstro speksi diri. Ia memilih mengundurkan diri. Hal yang hampir tak akan pernah dilakukan siapa pun di DPR, bahkan oleh mereka yang memiliki kesalahan lebih besar.

Di dalam dunia politik kita, mundur belum biasa. Sangat berbeda dengan Jepang. Pejabat yang dinilai kurang patut, berdasarkan norma Jepang, akan segera mundur. Pejabat yang dituding bersalah oleh publik akan mundur. Mereka tidak akan mencoba membela diri, dan mereka tidak sibuk berdalih menutupi kesalahan atau kekurangannya. Buat mereka, jabatan adalah kepercayaan. Bila kepercayaan pada dirinya hilang, dia akan segera menyerahkan jabatan. Apalagi kalau jelas membuat kesalahan.

Arifinto mengingatkan kita pada nilai itu. Ia mundur dari jabatannya. Hal yang dulu juga dilakukan Bung Hatta. Kebetulan atau tidak, menurut pakar politik Indra J Piliang, keduanya orang Bukittinggi. Daerah yang di masa-masa awal Indonesia banyak melahirkan pemimpin besar. Mundur dari jabatan bahkan dilakukan oleh pemimpin yang dituding pengeritiknya sebagai otoriter, seperti Soeharto. Merasa rakyat tak membutuhkannya lagi, Soeharto mundur.

Tak gampang buat memutuskan mundur. Hanya orang yang sungguh paham dan sadar apa arti jabatan yang berani mundur. Seorang yang berani mundur tahu betul bahwa jabatan bukan tujuan, jabatan hanya sarana. Bukan sarana buat memupuk kejayaan diri sendiri, melainkan sarana untuk membangun keadaan lebih baik untuk masyarakat. Maka, jabatan harus dipikul dengan penuh martabat. Jabatan dijaga dengan kepatutan dan moralitas tinggi. Seorang yang mengincar jabatan buat kejayaan diri tidak akan pernah mau mundur. Mereka akan gunakan segala cara untuk mempertahankan jabatan.

Sebaliknya bagi orang bernurani yang tahu jabatan hanya sarana, mereka akan mundur saat telah melanggar kepatutan memikul jabatan. Mereka akan mundur ketika jabatan tak lagi efektif untuk menggapai tujuan membuat kebaikan di masyarakat. Itu yang dilakukan Hatta begitu Soekarno mulai membangun pemerintahan otoriter berlabel demokrasi terpimpin.

Arifinto membuat langkah penting bagi bangsa ini, membiasakan budaya mundur. Hal yang tentu tak lepas dari sikap partainya, PKS. Partai yang dalam beberapa waktu terakhir banyak dihujani cobaan, termasuk pada kasus ini. Namun, lewat mundurnya Arifinto, PKS menunjukkan beda dengan partai lainnya. PKS melakukan hal yang hampir tak mungkin dilakukan partai lain. Dengan segala kekurangannya, partai ini relatif masih paling mengusung moralitas di kancah politik nasional.


*)sumber: Republika edisi Jumat (15/4/11)
Baca Selengkapnya..

15 April 2011

Inilah Jawaban Kami...

"astaghfirullah,memalukan,inikah partai dakwah,dakwah porno?dl pks skrg gk respek lg"

Komen diatas dari seseorang yang memberi comment di akun facebook ane. Apa jawaban ane? sebagai kader ecek-ecek alias kelas teri yang hidup di dusun alias grass root, yang menyadari betapa kecilnya peran diri ini dibanding para qiyadah dengan segudang amanah, inilah yang ane jawab:

Inikah partai dakwah? YA. 100% KAMI TAK PERNAH SANGSI. Kok ada yg berbuat begitu? Husnudzon di awal, itu perintah Allah dan tuntunan Nabi. Kalo memang terbukti? hukum yg akan bicara. Apa ada orang yang tidak pernah berbuat salah?

Menodai partai dakwah? KALO TERBUKTI, noda itu tinggal dibersihkan. Kalo tdk bisa dibersihkan? diamputasi (pecat). Dan tanpa gembar-gembor, PKS sudah banyak menjatuhkan sangsi kepada kader-kadernya yang terbukti melanggar AD/ART dan etika.

Memalukan kami? TIDAK. Tapi sbg pembelajaran bg kami, YA! Kenapa harus malu u/ mengakui dan bertobat KALO ITU TERBUKTI SALAH? Hanya iblis yang sombong untuk mengakui kekeliruan diri.

Gara2 begini kami jadi berhenti? TIDAK. TAKKAN PERNAH. Krn dakwah ini tidak ditentukan satu dua orang. Bahkan seandainya semua meninggalkan arena dakwah, kami tlah ber'azam takkan pernah meninggalkan jalan dakwah ini. Kami berdakwah bukan u/ berharap puja puji atau takut dicaci. Allah-lah tujuan kami. Kalo ada yg bersalah diantara kami, Allah pula sudah memberi guide: BERTOBAT dan dimaafkan atau KALO TDK MAU BERTOBAT sungguh azab Allah sangat pedih hanya dibanding caci maki!

Mungkin komen ane ini ada yang akan mengomentari: "kasihan kader lapisan bawah yang ikhlas berjuang dan tsiqoh pada qiyadah, tapi qiyadahnya sudah pada menyimpang, hidup bergelimang dunia". Saya akan katakan: "Kasihinilah dirimu sendiri, yang hidup bergelimang prasangka dan dusta. Kasihinilah dirimu sendiri, yang lebih memilih menyendiri diterkam srigala dibanding teguh dalam jamaah penuh berkah, kasihinlah dirimu sendiri yang tiada henti sibuk mengorek orang lain tapi melupakan aib diri sendiri".

Hasbunallah wani'mal wakil... kami yakin semua sudah dalam skenario Allah, tak ada satupun yang kebetulan semata. Cukuplah Allah bagi kami...

*)penulis: admin pkspiyungan
Baca Selengkapnya..

14 April 2011

Mengungkap kebenaran

Baca Selengkapnya..

07 April 2011

HAKEKAT KOALISI

Akhirnya cerita "sinetron politik berjudul pecahnya koalisi, reshufle menanti" berakhir antiklimakas dalam pentas politik nasional yang baru-baru ini dipentaskan. Antiklimaks karena ternyata SBY akhirnya lebih memilih mempertahankan koalisi dengan tidak ditendangnya Golkar dan PKS yang nyata-nyata melakukan pembangkangan terhadap arus kehendak mitra koalisi.

Dimulai sebenarnya pada kasus Century, kenakalan Golkar dan PKS sudah merepotkan mitra koalisi,bahkan ancaman reshufle sudah didengungkan oleh Partai Demokrat pasca perhelatan centurygate tersebut, tetapi hasilnya kegeraman PD tak disambut oleh SBY. Koalisi jalan terus bahkan tanpa ada statement kekecewaan apapun dari SBY atas peristiwa rapuhnya koalisi jilid pertama itu.

Klimaksnya saat hak angket mafia pajak digulirkan, walaupun yang menginisiasi awal adalah Partai Demokrat, tetapi ternyata ditengah jalan justru PD lah yang menjadi aktor utama penolak hak angket mafia pajak dan akhirnya diiikuti oleh seluruh partai mitra koalisi yang tergabung dalam Setgab, kecuali Golkar dan PKS. Dengan alasan bahwa hak angket mafia pajak adalah instrumen untuk membongkar mafia pajak di republik ini yang tentunya akan mewujudkan good governance dan itu artinya semangat atas substansi koalisi kehendak untuk menciptakan pemerintahan yang bersih bakal terwujud. Atas dasar inilah, Golkar dan PKS bersikukuh bahwa konsistensi dalam mendukung hak angket mafia pajak bukanlah suatu pengkhianatan atas koalisi,tetapi sebaliknya memperkuat hakekat visi koalisi itu sendiri.

Tetapi yang muncul menjadi arus utama dan mengemuka di publik adalah soal pengkhianatan atas koalisi. Para politisi muda Demokrat seperti Ikhsan Modjo,Ulil Absar Abdalla, Saan Mustofa dan bahkan ketua umumnya Anas Urbaningrum berada dalam garda terdepan untuk bertindak sangat keras agar Golkar dan PKS segera hengkang dari koalisi. Bahkan secara berani mengobral ke publik bahwa Presiden akan segera merombak koalisi dan segera mereshufle kabinet yang pada intinya akan mendepak Golkar dan PKS dari koalisi, dan akan digantikan oleh Gerindra dan PDIP. Tentunya tindakan para politisi muda Demokrat ini seakan mendikte kebijakan SBY bahkan cenderung mengadu domba antara istana dan Golkar-PKS. Tidak hanya itu, kekesalan Politisi muda Demokrat ini,seakan sudah tak terkendali saat Ulil Absar Abdala yang juga salah satu tokoh Jaringan Islam Liberal membuat pernyataan yang kontraproduktif dengan menyatakan bahwa kehadiran PKS sejak awal adalah sebuah kesalahan karena mengaburkan citra Demokrat dan SBY yang pluralis dan Berbhineka Tunggal Ika. Tentunya pernyataan ini sungguh diluar koridor visi koalisi, bahkan cenderung tendensius terhadap PKS.

Pernyataan Ulil ini ditanggapi sinis oleh PKS, yang menyebut justru Elit Demokratlah yang memprovokasi SBY dan menghadapkan pada situasi yang bisa meruntuhkan kewibawaan presiden. Saya tidak tahu apa yang ada dalam benak SBY soal konflik ini, tapi yang kita bisa tangkap adalah pernyataan yang pada akhirnya adalah koalisi tetap dipertahankan tanpa mengeluarkan Golkar dan PKS, sekaligus menyebut bahwa seakan-akan ada yang memaksa dan membuat situasi agar SBY segera melakukan reshuffle.

Lalu apa yang akan terjadi kemudian pasca dipertahankan koalisi ini? Padahal setidaknya ada 3 peristiwa politik lagi yang diprediksi akan memunculkan terulangnya pembangkangan mitra koalisi ini? Yang pertama adalah soal RUUK Yogyakarta,Golkar dan PKS sudah sejak awal menyatakan dukungan terhadap penetapan Sultan untuk menjadi Gubernur, Bahkan PKS melalui sikap resminya saat Mukernas di yogyakarta didepan Sultan Hamengkubuwono X secara terang-terangan mendukung penetapan, sikap ini tentunya sangat bertentangan dengan Partai Demokrat dan pemerintah. Kedua soal rencana pemerintah menaikan harga BBM,nampaknya kembali PKS akan kembali berbeda haluan dengan mitra koalisi, dan kembali akan seirama dengan partai oposisi PDIP. Dan yang terakhir soal RUU politik, yang tentunya hal ini akan mencairkan suasana koalisi dan rentan akan rontoknya mitra koalisi.

Lalu apakah proyeksi pecahnya koalisi kembali akan menjadi sorotan utama politik nasional?apakah reshufle akan menjadi gertakan kosong atau betul-Betul dilaksanakan? yang pasti rakyat sudah muak akan konflik ini,karena tentunya konflik ini adalah barang mewah untuk dinikmati bagi rakyat,karena ini tak akan memberikan implikasi positif bagi rakyat.Lalu apakah ada cara agar konflik koalisi tak akan tersaji secara vulgar kembali?

Sebenarnya konflik koalisi terjadi karena terjadinya ketimpangan pemahaman akan hakekat koalisi itu sendiri. Saya menilai kebanyakan politisi yang tergabung dalam koalisi ini beranggapan koalisi itu adalah “satu kata” tanpa memperhatikan aspek yang menjiwai makna satu kata tersebut. Karena jika tak ada penjiwaan akan makna satu kata itulah,koalisi berubah menjadi akuisisi yang tentunya inilah akar dari masalah konflik koalisi itu.

Lalu bagaimana “satu kata” itu harus dijiwai? Ada 4 hal yang harus dijiwai dalam proses koalisi,yang pertama adalah berkoalisi itu bermakna berkehendak sama,memiliki cara pandang yang tunggal terhadap target berkoalisi itu,dan memiliki tujuan serta visi yang sama. Ini adalah hal yang paling fundamental dalam berkoalisi, biasanya penjiwaan ini relatif mudah untuk disatukan.

Kedua soal teknis komunikasi berkoalisi. Wajib hukumnya, komunikasi itu sifatnya transparan,tak ada hal yang ditutupi,dan tentunya intensif. Tak bisa proses komunikasi itu satu arah,tetapi harus dua arah dan tentunya didasarkan pada argumentasi yang lugas bukan emosional. Fungsi komunikasi transparan adalah agar koalisi itu akan terkondisikan layaknya dapur yang meracik untuk menyajikan masakan yang bisa dinikmati oleh pelanggan dan tentunya memuaskan.

Ketiga adalah soal suasana egaliter. Ini menjadi syarat psikologis yang fatal jika tak direalisasikan. Pimpinan koalisi bukanlah lebih tinggi dari mitranya,tetapi sebagai peran manajerial yang membuat agar peserta koalisi merasa nyaman karena eksistensi dalam koalisi menjadi sangat signifikan untuk dirasakan oleh peserta koalisi. Coba perhatikan pernyataan beberapa kali yang disampaikan oleh Golkar dan PKS yang secara tegas selama ini tanpa ada pembicaraaan internal di koalisi tiba-tiba ada keputusan koalisi yang wajib diikuti,dan itu langsung disampaikan dipublik, sehingga ada kekagetan diantara mereka. Tentunya disini adalah eksistensi peserta koalisi menjadi tergadaikan tergantikan instruksi atasan bawahan yang pada akhirnya membuat tidak nyaman peserta koalisi.

Terakhir adalah soal indepedensi. Koalisi bukanlah soal pemaksaan akan sikap akhir politik,tetapi tetap mengacu pada soal visi dan ideologi masing-masing peserta koalisi. Makanya koalisi itu sifatnya adalah cair,berumur pendek,dan tentunya tak bisa menjadi alat stempel kebijakan. Indepedensi disini bermakna pula tak ada jalur komando struktural yang menjadikan adannya intervensi dari peserta koalisi. Independensi disini juga harus diartikan sebagai keselarasan antara visi partai itu sendiri dengan kesatuan kehendak kolektif.

Jadi yang dimaksud dengan hakekat koalisi adalah tercapainya kehendak dan visi yang sama atas suatu hal,terjalinnya komunikasi transparan dan intensif dengan tetap saling menjaga suasana egaliter antar sesama mitra koalisi sehingga terwujudnya keselaran visi partai dengan kehendak kolektif koalisi.

Saya yakin jika empat penjiwaaan itu bisa dijaga dan menjadi kultur dalam berkoalisi,maka tak akan ada lagi menu konflik koalisi,tak perlu lagi saling gertak dan saling ancam mengancam antar mitra koalisi. Sekali lagi,jika ini dipegang teguh maka,koalisi akan menjadi sangat produktif dan tentunya rakyat akan lebih menganggap elitnya telah mampu dewasa dalam berpolitik. Wallahu a'lam

Penulis:
Muhammad Ikhlas Thamrin,SH
Ketua Bidang Politik, Hukum dan Pemerintahaan DPD PKS Solo
Baca Selengkapnya..

05 April 2011

Menakar Tsiqah Kita Kepada Pemimpin

Tsiqah dalam Sirah

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa dalam perjanjian Hudaibiyah. Umar ibnul Khaththab Ra tidak puas akan kebijakan yang diambil Rasulullah Saw. Ia berkata, ‘Kemudian aku datangi Rasulullah Saw. lalu aku tanyakan padanya.

‘Bukankah engkau Rasulullah Saw.?’.

Beliau menjawab, ‘Ya, benar’. ‘

Bukankah engkau di pihak yang benar dan musuh kita berada di atas kebatilan?’, tanyaku.

Jawab Nabi, ‘Ya, benar’.

‘Bukankah orang-orang kita yang terbunuh akan masuk surga dan orang-orang mereka yang terbunuh akan masuk neraka?’, tanyaku kembali.

‘Ya, benar’, jawab Rasulullah Saw.

‘Lalu kenapa kita menyetujui agama kita direndahkan’, tanyaku lagi.

‘Sesungguhnya aku adalah Rasulullah, aku tidak akan menyalahi perintah-Nya dan Dia pasti membelaku’, jawab Nabi.

‘Bukankah engkau telah menjanjikan bahwa kita akan datang ke Baitullah untuk melakukan thawaf?’, tanyaku.

‘Ya, benar’, tetapi apakah aku mengatakan kepadamu bahwa engkau akan datang pada tahun ini’, jawab beliau.

Aku menjawab, ‘Tidak’.

‘Engkau pasti akan datang dan thawaf di Baitullah’, tegas Nabi Saw.

Namun Umar ibnul Khaththab tidak merasa puas dengan jawaban Rasulullah Saw. tersebut. Sehingga ia datangi Abu Bakar Shiddiq Ra. lalu menanyakan apa yang tadi dia tanyakan kepada Rasulullah Saw.

Kemudian Abu Bakar berkata kepadanya, ‘Wahai Ibnul Khaththab, sesungguhnya dia adalah Rasulullah. Dia tidak akan menyalahi perintah Tuhannya dan Allah pun tidak akan membiarkannya’.

Tak lama kemudia turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah Saw. lalu Nabi segera panggil Umar ibnul Khaththab Ra. dan membacakan surat Al Fath tersebut kepadanya.

Lalu Abu Bakar bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah hal itu kemenangan (Al Fath)?’.

Jawab Nabi, ‘Ya, benar’.

Barulah hati Umar merasa tenang dengan jawaban tersebut. Dan tak ada sedikitpun keraguan dalam hati para sahabat atas kebijakan yang ditempuh Rasulullah Saw.

Tsiqah dan urgensinya
Hasan Al Banna menjelaskan bahwa makna tsiqah adalah ketenangan jundi terhadap qiyadahnya dalam hal kemampuannya dan keikhlasannya yang menjadikannya semakin cinta, menghargai, menghormati serta taat. Allah berfirman: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisaa’: 65).

Qiyadah bagian daripada dakwah. Tidak ada dakwah tanpa qiyadah. Harmonisasi antara qiyadah dan jundiyah akan menjadikan dakwah kuat, program terlaksana, target tercapai dan bisa menghadapi segala macam bentuk rintangan. Jadi tsiqah terhadap qiyadah ujung tombak keberhasilan dakwah.Oleh karena itu masalah ketsiqahan antara qiyadah dan junud menjadi masalah yang cukup urgen. Masalahnya ia menjadi simpul yang menguatkan jalinan antara satu dengan yang lain atau juga melemahkannya. Sedapat mungkin orang-orang yang terlibat aktif dalam dakwah ini tidak melukai dan menodai ketsiqahannya. Qiyadah percaya dan yakin sepenuh hati dengan kemampuan dan upaya junudnya. Demikian pula seorang junud percaya penuh kepada qiyadahnya terhadap segala hal yang telah diputuskannya. Hubungan yang harmonis antara qiyadah dan junud atau sebaliknya dapat menjadi mesin produktivitas bagi dakwah ini.

Ibrah dalam Perjanjian Hudaibiyah

Perjanjian Hudaibiyah satu dari sekian peristiwa yang menjadi ibrah bagi para aktivis dakwah. 1.Keterbatasan pemahaman dan informasi atas sikap yang diambil Rasulullah Saw. menjadikan sahabat Umar ibnul Khaththab Ra menyangsikan apa yang dilakukan beliau dengan orang Quraisy.

2.Sikap Umar tersebut berdampak pada sikap para sahabat yang lamban untuk digerakkan melaksanakan perintah Rasulullah Saw dalam menyembelih dan mencukur rambut sebagai tanda tahallul.

3.Namun peristiwa itu tidak berlangsung lama. Beliau segera menyadari bahwa mereka perlu digerakkan dari tombolnya. Maka beliau pun memulai dari dirinya untuk melakukan apa yang diperintahkannya tadi. Baru selepas itu para sahabat pun berbondong-bondong menjalankannya.

4.Peristiwa ini terhenti dan tidak berkembang hingga ke akar-akar rumput. Dengan cepat kasus itu terselesaikan. Allah Swt menyelamatkan komunitas kaum muslimin dari perpecahan. Ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya melandasi kekuatan persatuan tersebut. “Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Anfaal: 46)

Tsiqah Buah Interaksi Berkesinambungan

Tsiqah dan kepercayaan tidak muncul tiba-tiba. . Melainkan ia adalah buah dari interaksi yang amat lama. Paling tidak dari interaksi yang sangat lama itu dapat memahami keadaan dan kondisinya masing-masing. Sebagaimana peristiwa Isra’ dan Mi’rajnya Rasulullah Saw. Ketika peristiwa itu diceritakan beliau kepada masyarakat luas. Terjadilah kegegeran di kalangan umum. Mereka menyangsikan kejadian yang dialami Rasulullah Saw. Logika mereka belum sampai untuk menerima peristiwa tersebut. Namun sewaktu kasus itu diceritakan kepada Abu Bakar As Shiddiq Ra. dia amat mempercayainya. Bahkan bila kisahnya jauh lebih dahsyat dari yang didengar orang-orang Quraisy sekalipun ia mempercayainya. Alasannya karena sejak kecil ia berteman dengan Rasulullah Saw. dan selama pertemanan yang sangat lama itu, Abu Bakar tidak pernah menemukan pada pribadi Rasulullah, sikap yang mengada-ada. Lebih-lebih berdusta. Hasil interaksi yang cukup lama itu menjadi perisai diri terhadap pribadi Rasulullah Saw. Sehingga tidak ada celah sekecil apapun dalam diri Abu bakar untuk bersikap menduga-duga.

Tarbiyah yang intens bisa sebagai jalan untuk merajut hubungan yang harmonis antar personal. Baik hubungan antara qiyadah dan jundiyah juga antara jundiyah sendiri. Tarbiyah yang berlangsung sekian lama dapat menjadi alat bantu untuk saling memahami kondisi masing-masing orang yang berada di dalamnya. Baik terkait dengan karakter, sikap, ide dan kemauannya. Oleh karenanya mereka yang sangat lama berinteraksi dengan Rasulullah Saw. tidak memiliki persoalan yang semakin rumit. Tetapi mereka yang lemah hubungan interaksinya dapat menjadi faktor pemicu yang meruwewtkan masalah. Perhatikanlah kasus-kasus pembangkangan terhadap Rasulullah Saw. dalam sejarah banyak dilakukan oleh orang-orang yang lemah berinteraksi dengan beliau. Termasuk daerah-daerah yang hubungannya belum kokoh dalam dereten sejarah paling banyak bergolak ketimbang daerah-daerah yang dekat hubungannya.



Kiat-kiat merajut tsiqah

Ketidaktsiqahan antara qiyadah dan junud ini tidak boleh terjadi terlebih berlarut-larut. Ia harus segera disingkirkan dan diperbaiki dengan cepat. Adapun upaya yang dapat kita lakukan untuk kembali merajutnya diantaranya sebagai berikut:

Pertama, saling memahami bahwa tsiqah antara qiyadah dan jundiyah merupakan modal besar dalam membangun bangunan dakwah ini. Dan ketsiqahan yang utuh hanya melahirkan ketenangan dan ketentraman. Sedangkan ketidaktsiqahan adalah jendela kehancuran bagi dakwah ini.

Kedua, saling menyadari bahwa apa yang kita lakukan adalah kerangka ubudiyah. Karenanya jauhkan diri dari tendensi material dan kebusukan hati. Kerja dakwah dan membangun bangunan dakwah adalah amal mulia. Allah Swt perintahkan untuk terus konsisten dengan kebersamaan orang-orang yang tulus dalam pengabdian. Allah berfirman:

“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. Al-Kahfi: 28)

Ketiga, berupaya untuk mengalah demi kemashlahatan dakwah yang jauh lebih besar. Sikap itu diutamakan kepada para kader. Sehingga mereka tetap memberikan rasa hormat dan ta’zhim kepada qiyadah. Isu utamanya bukan lagi pendapat pribadi. Akan tetapi isu utama yang harus diangkat adalah kemashlahatan dakwah. Bagaimana nasib dakwah hari ini dan akan datang. Bagaimana pula peta perjalanan dakwah yang sedang berlangsung ini dan bagaimana rekrutmen kader baru serta target yang terbina. Inilah yang hendaknya selalu terngiang-ngiang dalam benak orang-orang yang melibatkan dirinya dalam barisan dakwah.

Keempat, mencari pihak yang netral dan dapat menetralisir keadaan. Sehingga dua titik yang mempunyai kecenderungan meruncing menjadi tumpul kembali. Dan akhirnya dapat direkatkan. Bila kasus Hudaibiyah ini yang menjadi sandaran isu kita dapat melihat sikap Umar Ra yang mendatangi Abu Bakar Ra untuk lebih mendapatkan ketenangan dalam mengambil sebuah sikap. Dan Abu Bakar mampu menetralisir keadaan sehingga tidak menimbulkan keruncingan. Begitu pula pihak-pihak yang didatangi agar tidak menambah persoalan baru bagi ketegangan yang terjadi. Malah seharusnya merukunkan kembali semua hal yang menyebabkan disharmonisisasi.

Kelima, saling berdoa untuk kebaikan semua pihak. Allah berfirman: ” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:”Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang”. (QS. Al-Hasyr: 10).

Kita semua berharap agar harmonisasi qiyadah dan jundiyah terpelihara terus. Wallahu ‘alam bishshawwab.

(PKSACEH.NET/Salman Syarifudin)
Baca Selengkapnya..

01 April 2011

Bencana Lahar Dingin Merapi Kembali Terjadi, PKS Langsung Bergerak

---Pagi ini 100 relawan PKS dr karanganyar, klaten dan sragen dlm pjalanan mnuju lokasi bencana Merapi---

(Rabu 30/3/11) Banjir lahar dingin menjebol jembatan di jalur Jogja-Magelang. Akibatnya, setengah jembatan ambrol, sementara setengahnya miring. Polisi pun menutup jalan utama dua kota tersebut.

Banjir lahar dingin mulai pukul 17.45 WIB dan jembatan ambrol sekitar pukul 18.30 WIB karena arus air sangat kuat. Sebelum ambrol terdengar bunyi gemuruh air yang sangat besar. (detik.com)

PKS langsung bergerak membantu korban. Berikut liputan (news) singkat dari twit @PKSjateng:

• Banjir lahar trjang Mgl. Jembt Pabelan runtuh. Jalur utama Mgl-Ygy putus. Relawan PKS brsiaga.

• Warga Dsn Ngemplak, slh satu Dsn di Ds Paremono mulai ngungsi.

• Saat ini 93 KK mengungsi di balai muslimin, balai pertemuan yg akn djadikan tmpt Muskerwil DPW PKS Jateng.

• Balai muslimin letaknya kira2 1 km dr jmbatan pabelan yg runtuh. Warga yg ngungsi krn rumahnya trendam.

• Relawan PKS sdh mulai bersiaga di lokasi. Bsk pagi tambahan relawan dr kota2 sktr Magelang dikerahkan.

• 3 rumah hilang & 2 rusak di dsn gunung lemah ds gondowangi, sawangan. Jalan utama kampung terputus.

• Insya Allah prsiapan terus brjalan. Malam ini (30/3) panitia dan relawan besrta msyarakat desa paremono sdg kordinasi di lapangan.

• Bantuan yg dibthkan sdg diinventarisir. Bantuan uang via 136-000975146-9 Mandiri cabang semarang pahlawan.A.n kharis raharjo,S.E.

• Relawan daerah lain siap2 tunggu giliran. Mobilisasi awal relawan PKS Magelang dan kota2 sekitarnya.

• Di DPD PKS Magelang malam ini 50 relawan PKS sdg kordinasi. Jam 1 mlm nanti tmbhan relwan dtg dr solo.

• (Kamis 31/3) Pagi ini 100 relawan PKS dr karanganyar, klaten dan sragen dlm pjalanan mnuju lokasi bencana Merapi.


*sumber: http://twitter.com/PKSjateng
Baca Selengkapnya..

31 Maret 2011

Tujuh Arahan Ustadz Hilmi Aminuddin

Situasi yang kita hadapi sekarang adalah mata rantai dari ujian-ujian dakwah sebelumnya. Adalah sunatullah bahwa akan ada terus rekayasa untuk mengkerdilkan dakwah. Namun yang penting adalah bagaimana kemampuan kita untuk membuktikan dengan kerja nyata.

Kita sebagai dai dan daiyah diperintahkan oleh Allah SWT jika menghadapi sesuatu yang sulit, yang menghimpit, cepat kembali kepada Allah (fafirruu ilallah..). Kemudian selesaikan dengan mentadabburi konsep Allah. “Afala yatadabbarunal Qur’an am ‘ala quluubin aqfaluha.”


Dari tadabur ayat-ayat Allah ini, maka dalam menghadapi berbagai masalah, ancaman dan makar, maka kita harus memiliki bekalan-bekalan yakni:

(1) Atsbatu mauqifan (menjadi orang yang paling teguh pendirian/paling kokoh sikapnya)

• At-Tsabat (keteguhan) adalah tsamratus shabr (buah dari kesabaran).
• Famaa wahanuu lima ashobahum fii sabiilillahi waaa dhoufu wamastakanuu…
• “…mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah. Allah menyukai orang-orang yang sabar…” (3:146)
• Keteguhan itu membuat kita tenang, rasional, obyektif dan mendatangkan kepercayaan Allah untuk memberikan kemenangan kepada kita.
• Keteguhan sikap kadang-kadang menimbulkan kekerasan oleh karenanya perlu diimbangi dengan yang kedua.

(2) Arhabu shadran (paling berlapang dada)

• Bukan paling banyak mengelus dada.
• Silakan bicara tetapi silakan buktikan.
• Jika tidak ada lapang dada akan timbul kekakuan.

(3) A’maqu fikran (pemikiran yang mendalam)

• Mendalami apa yang terjadi.
• Jangan terlarut pada fenomena, tetapi lihatlah ada apa di balik fenomena tsb.
• Ketika kita merespon pun akan objektif.
• Respon-respon kita objektif, terukur, mutawazin (seimbang).
• Pemikiran yang mendalam kadang-kadang membuat kita terjebak pada hal yang sektoral, maka harus segera diimbangi pula dengan yang bekal keempat:

(4) Ausa’u nazharan (pandangan yang luas)

• Temuan sektoral perlu dicari.

(5) Ansyathu amalan (paling giat dalam bekerja)

• Sambil merespon sesuai dengan kebutuhan tetap kita harus giat bekerja.
• Orang-orang tertentu saja yang menangani, selebihnya harus terus bergerak dalam kerangka amal jamai. Energi kita harus prioritas untuk membangun negeri.
• Bekerja untuk Indonesia di segala sektor, struktur sampai tingkat desa, dan kader-kader yang mendapat amanah di pemerintahan. Fokuskan semua bekerja.

(6) Ashlabu tanzhiman (paling kokoh strukturnya)

• Kita jamaah manusia, ada kekurangan, ada kesalahan. Kita harus rajin membersihkannya. Seorang muslim ibarat orang yang tinggal di pinggir sungai dan mandi lima kali sehari. Jika sudah begitu, pertanyaannya: “Masih adakah daki-daki kita?”
• Allah berfirman “wa qul jaal haq wa zahaqal bathil”. Secara fitrah jika al Haq muncul, maka kebatilan akan lenyap, oleh karena itu teruslah hadirkan al Haq dan mobilisir potensi kebaikan. Jika kita lengah mendzohirkan al-haq maka kebatilan yang tadinya marjinal akan tampil dan al-haq terbengkalai.
• Hidup berjamaah adalah untuk memobilisir potensi-potensi kebaikan.

(7) Aktsaru naf’an (paling banyak manfaatnya)

• Khoirunnas anfa’uhum linnas.
• Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.
• Buktikan bahwa jamaah ini banyak manfaatnya sehingga berhak mendatangkan pertolongan Allah dan pertolongan kaum Mukminin.

Jika tujuh hal itu dilakukan untuk menghadapi tantangan dan rekayasa, insya Allah dakwah ini akan semakin kokoh dan semakin diterima untuk menghadirkan kebajikan-kebajikan yang diharapkan oleh seluruh bangsa.

*Disampaikan dalam Acara DPW PKS Jabar di Lembang, 19 Maret 2011

Baca Selengkapnya..

30 Maret 2011

Ketika Badai Menghantam Perahu Kami...

Oleh Abdullah Haidir, Lc
...
Berlayar mengarungi samudera, jangan berharap kau kan tiba di pulau tujuan tanpa cobaan mendera. Sebelum layar dibentangkan, inilah yang harus terpatri dalam diri menjadi kesadaran. Bahwa berbagai keindahan dari sebuah pelayaran panjang dan kenikmatan di pulau tujuan, berbanding lurus dengan besarnya tantangan yang menghadang.
Tak kan pernah kau dapatkan indahnya pemandangan angkasa menjulang di tengah samudera luas membentang, selagi kau masih takut menembus hempasan gelombang. Ini bukan sekedar resiko perjalanan, tapi tlah menjadi aksioma tak terbantahkan.

Di sini, di perahu ini, kita sedang merangkai keutuhan dan persaudaraan, kesetiaan dan keteguhan, apapun posisi dan kedudukan. Karena kita telah memiliki tujuan, harapan dan mimpi yang sama ingin diwujudkan. Namun, kita tidak pernah menafikan adanya kesalahan, kelalaian dan kekhilafan, bahkan juga kejenuhan, kekecewaan, kemarahan, hingga silang sengketa yang tak terhindarkan. Itu wajar belaka, karena memang tidak satu pun di antara kita yang mengaku tiada cela tiada dosa. Namun kesamaan tujuan, mimpi dan khayalan, kan segera menyatukan, meluruskan langkah ke depan, menghapus resah dan kemarahan, berganti semangat yang terbarukan. Karenanya, kita sambut gembira setiap arahan, nasehat dan pesan-pesan yang dapat menguatkan serta menyatukan, sekeras apapun. Tapi, fitnah yang memecah barisan, tuduhan yang memojokkan, umpatan dan celaan yang menjatuhkan, serta aib yang dibeberkan, apalagi tindakan melobangi perahu agar kandas atau tenggelam, tidak pernah dapat kami terima, baik secara logika apalagi perasaan. Bagaimanapun, kami bukan batu yang diam diketuk palu.

Di sini, di perahu ini, kita sedang menjadikan badai dan gelombang sebagai ujian kejujuran, sarana muhasabah untuk memperteguh perjuangan, juga sarana belajar menjaga komitmen atas kesepakatan yang tlah dinyatakan. Karenanya, alih-alih badai ini menceraiberaikan atau meluluhlantakkan, justeru dia menjadi moment paling tepat untuk semakin rekat, melupakan kesalahpahaman yang sempat menimbulkan sekat. Mereka di kejauhan, boleh jadi bersorak sorai kegirangan ketika kita terombang ambing di tengah gelombang, berharap satu persatu dari kita tenggelam menjemput ajal menjelang. Tapi tahukah mereka? Justeru saat ini kami rasakan kehangatan tangan saudara kami yang erat saling berpegangan, justeru saat ini kami rasakan kekhusyuan doa-doa untuk keselamatan dan persatuan, justeru saat ini kami semakin yakin bahwa seleksi kejujuran memang harus lewat ujian, justeru saat ini kami jadi dapat membedakan mana nasehat dan mana dendam kesumat, mana masukan bermanfaat dan mana makar jahat, mana senyum tulus persaudaraan dan mana senyum sinis permusuhan.

Di sini, di perahu ini, justeru di tengah badai gelombang, kita jadi semakin mengerti pentingnya nakhoda yang memimpin dan mengendalikan, juga semakin menyadari pentingnya syura untuk mengambil keputusan, lalu pentingnya belajar menerima keputusan setelah disyurakan. Adanya kepemimpinan dan syura memang memberatkan, karena proses jadi panjang, langkah-langkah jadi terhalang aturan, keinginan sering tertunda menunggu keputusan. Tapi ini tidak dapat kita hindari, karena kita tidak berlayar sendiri, bergerak sendiri, mengambil keputusan sendiri dan menanggung resiko sendiri. Justeru karena kita berlayar bersama, maka kepemimpinan dan syura mutlak harus ada. Kepemimpinan memang bukan nabi yang maksum dan mendapatkan legalitas wahyu dalam setiap kebijakan, kesalahanpun bukan sebuah kemustahilan meski tidak kita anggap kebenaran. Tapi kepemimpinan yang dibangun oleh syura, telah memenuhi syarat untuk disikapi penuh penghormatan dan ketaatan, sepanjang tidak ada ajakan kemaksiatan. Sebagian orang boleh jadi mengatakan ini sikap taklid buta, kita katakan, 'Inilah komitmen kita!' Sebagian lagi katanya merasa kasihan dengan anak buah yang tidak mengerti banyak persoalan dan hanya ikut ketentuan, kita katakan, 'Kasihanilah dirimu yang sering menghasut tanpa perasaan!'

Di sini, di perahu ini, ketika badai menghantam dari kiri dan kanan, depan dan belakang, teringat perkataan para shahabat dalam sebuah peperangan, tatkala musuh dari luar datang menyerang dan orang dekat menelikung dari belakang,

'Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya' (QS. Al-Ahzab: 22)

Ibnu Katsir menjelaskan, "Maksudnya, inilah janji Allah dan Rasul-Nya berupa ujian dan cobaan, pertanda kian dekatnya kemenangan."

Riyadh, Rabiul Tsani 1432 H.


*Abdullah Haidir, Ketua Majelis Pertimbangan Wilayah (MPW) DPW PKS Arab Saudi
*posted: pkspiyungan.blogspot.com
Baca Selengkapnya..

Menyerang Qiyadah Melumpuhkan Dakwah

Muhammad Abdullah Al Khatib*
...
Wahai Ikhwan, karena dakwah kalian merupakan kekuatan besar melawan kedzoliman, maka wajar kalau mereka mengerahkan segala senjata dan kemampuan untuk menghadapi dakwah kalian, bahkan tidak ada satu pun cara kecuali mereka manfaatkan untuk memerangi dan memberangus dakwah kalian.

Cara paling berbahaya yang digunakan oleh musuh yang licik adalah upaya menimbulkan friksi internal di dalam dakwah, sehingga mereka dapat memenangkan pertarungan karena kekuatan dakwah melemah akibat terpecah belah. Dan hal yang paling efektif menimbulkan friksi internal dalam dakwah adalah hilangnya tsiqah antara prajurit dan pimpinan. Sebab bila prajurit sudah tidak memiliki sikap tsiqah pada pimpinannnya, maka makna ketaatan akan segera hilang dari jiwa mereka. Bila ketaatan sudah hilang, maka tidak mungkin ada eksistensi kepemimpinan dan karenanya pula tidak mungkin jamaah dapat eksis.

Oleh karena itulah, maka Imam Asy-Syahid menekankan rukun tsiqah dalam Risalah At-Ta'alim dan menjadikannya sebagai salah satu rukun bai'at. Imam Asy-Syahid juga menjelaskan urgensi rukun ini dalam menjaga soliditas dan kesatuan jamaah, ia mengatakan:

"...Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah – yang timbal balik - antara pimpinan dan yang dipimpin menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan. "Ta'at dan mengucapkan perkataan yang baik adalah lebih baik bagi mereka" (QS 47:21). Dan tsiqah terhadap pimpinan merupakan segala-galanya bagi keberhasilan dakwah."

Kita tidak mensyaratkan bahwa yang berhak mendapat tsiqah kita adalah pemimpin yang berkapasitas sebagai orang yang paling kuat, paling bertakwa, paling mengerti, dan paling fasih dalam berbicara. Syarat seperti ini sangat sulit dipenuhi, bahkan hampir tidak terpenuhi sepeninggal Rasulullah saw. Cukuplah seorang pemimpin itu, seseorang yang dianggap mampu oleh saudara-saudaranya untuk memikui amanah (kepemimpinan) yang berat ini. Kemudian apabila ada seorang ikhwah (saudara) yang merasa bahwa dirinya atau mengetahui orang lain memiliki kemampuan dan bakat yang tidak dimiliki oleh pimpinannya, maka hendaklah ia mendermakan kemampuan dan bakat tersebut untuk dipergunakan oleh pimpinan, agar dapat membantu tugas-tugas kepemimpinannya bukan menjadi pesaing bagi pimpinan dan jamaahnya.

Saudaraku, mungkin anda masih ingat dialog yang terjadi antara Abu Bakar ra dan Umar ra sepeninggal Rasulullah saw.

Umar berkata kepada Abu Bakar, 'Ulurkanlah tanganmu, aku akan membai'atmu.'
Abu Bakar berkata, 'Akulah yang membai'atmu.'
Umar berkata, 'Kamu lebih utama dariku.'
Abu Bakar berkata, 'Kamu lebih kuat dariku.'

Setelah itu Umar ra berkata, 'Kekuatanku kupersembahkan untukmu karena keutamaanmu.'
Umar pun terbukti benar-benar menjadikan kekuatannya sebagai pendukung Abu Bakar sebagai kholifah.

Tatkala seseorang bertanya kepada Imam Asy-Syahid, 'Bagaimana bila suatu kondisi menghalangi kebersamaan anda dengan kami? Menurut anda siapakah orang yang akan kami angkat sebagai pemimpin kami?'

Imam Asy-Syahid menjawab, 'Wahai ikhwan, angkatlah menjadi pemimpin orang yang paling lemah di antara kalian. Kemudian dengarlah dan taatilah dia. Dengan (bantuan) kalian, ia akan menjadi orang yang paling kuat di antara kalian.’

‘Wahai Ikhwan, mungkin anda masih ingat perselisihan yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar dalam menyikapi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Sebagian besar sahabat berpendapat seperti pendapat Umar, yaitu tidak memerangi mereka. Meski demikian tatkala Umar mengetahui bahwa Abu Bakar bersikeras untuk memerangi mereka, maka ia mengucapkan kata-katanya yang terkenal, yang menggambarkan ketsiqahan yang sempurna, 'Demi Allah, tiada lain yang aku pahami kecuali bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, maka aku tahu bahwa dialah yang benar.'

Andai Umar ra tidak memiliki ketsiqahan dan ketaatan yang sempurna, maka jiwanya akan dapat memperdayakannya, bahwa dialah pihak yang benar, apalagi ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Allah swt telah menjadikan al haq (kebenaran) pada lisan dan hati Umar.'

Alangkah butuhnya kita pada sikap seperti Umar ra tersebut, saat terjadi perbedaan pendapat di antara kita, terutama untuk ukuran model kita yang tidak mendengar Rasululiah saw memberikan rekomendasi kepada salah seorang di antara kita, bahwa kebenaran itu pada lisan atau hatinya.

Mengingat sangat pentingnya ketsiqahan terhadap fikrah dan ketetapan pimpinan, maka musuh-musuh Islam berusaha sekuat tenaga untuk menimbulkan keragu-raguan pada Islam, jamaah, manhaj jamaah, dan pimpinannya. Betapa banyak serangan yang dilancarkan untuk melaksanakan misi tersebut.

Oleh karena itu, seorang akh jangan sampai terpengaruh oleh serangan-serangan tersebut. Ia harus yakin bahwa agamanya adalah agama yang haq yang diterima Allah swt. Ia harus yakin bahwa Islam adalah manhaj yang sempurna bagi seluruh urusan dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Ia harus tetap tsiqah bahwa jamaahnya berada di jalan yang benar dan selalu memperhatikan Al Quran dan Sunah dalam setiap langkah dan sarananya. Ia harus tetap tsiqah bahwa pimpinannya selalu bercermin pada langkah Rasulullah saw serta para sahabatnya dan selalu tunduk kepada syariat Allah dalam menangani persoalan yang muncul saat beraktivitas serta selalu memperhatikan kemaslahatan dakwah.

Kami mengingatkan, bahwa terkadang sebagian surat kabar atau media massa lainnya mengutip pembicaraan atau pendapat yang dilakukan pada pimpinan jamaah, dengan tujuan untuk menimbulkan keragu-raguan, menggoncangkan kepercayaan, dan menciptakan ketidakstabilan di dalam tubuh jamaah. Oleh karena itu, seorang akh muslim tidak diperbolehkan menyimpulkan suatu hukum berdasarkan apa yang dibaca dalam media massa, tidak boleh melunturkan tsiqahnya, dan tidak boleh menyebarkannya atas dasar pembenaran. Ia harus melakukan tabayyun terlebih dahulu.

Allah swt menegur segolongan orang yang melakukan kesalahan dengan firman-Nya,
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka serta merta menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja di antaramu.” (QS 4:83).


*Dikutip dari Kitab Nadzharat Fii Risalah at-Ta'alim (Bab Ats-Tsiqoh) terbitan Asy-Syaamil.
Baca Selengkapnya..

30 Januari 2011

PENGURUS DPRa PKS KARANGASEM
TAHUN 2011-2013



KETUA
Anang Wahyudianto, S. Pd.


           SEKRETARIS                   BENDAHARA

    
       M. Fadkul Achmadi, S. Pd.I            Tri Wahyu Yunianto, ST
Baca Selengkapnya..