Oleh :Ustad Salman Syarifudin, MA
Arahan surat An-Nur tentang fitnah
“Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa perbuatan mereka itu membawa akibat buruk bagi kamu, bahkan itu membawa kebaikan bagimu. Setiap orang akan mendapatkan hukuman dari sebab dosa yang dibuatnya itu. Dan orang yang mengambil bagian terbesar akan mendapatkan siksaan yang besar pula.”(Q.S:24:11)
Pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat di atas diantaranya:
1. Penyebar fitnah itu bagian dari kaum muslimin.
2. Rangkaian fitnah itu jangan disangka berakibat buruk bagimu.
3. Ujian berupa fitnah tersebut berdampak baik untuk kaum muslimin.
4. Penyebar fitnah akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan perbuatannya.
5. Aktor dari penyebar fitnah itu akan mendapatkan ganjaran yang besar.
Sikap kita terhadap rangkaian fitnah menurut surat An-Nur 11-16
1. Berbaik sangka terhadap orang yang difitnah.
2. Membentengi diri dengan mengatakan bahwa ini merupakan kebohongan besar.
3. Harus ada bukti disertai sikap tabayyun.
4. Bersikap untuk tidak menyebarkannya karena merasa tidak berhak.
5. Memperbanyak zikir.
Kisah fitnah dalam sirah
Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy dalam bukunya Fiqih Sirah yang diterjemah oleh Aunur Rafiq Shaleh Tamhid menceritakan kepada kita tentang berita bohong (haditsul ifki), sebagaiberikut:
“ Dalam perjalanan pulang kaum muslimin dari perang Bani Mustahliq, tersiar berita bohong bertujuan merusak keluarga Nabi Saw. Aisyah Ra meriwayatkan bahwa dalam perjalanan ini ia ikut keluar bersama Rasulullah Saw. Aisyah Ra berkata: “Setelah selesai dari peperangan ini, Rasulullah Saw bergegas pulang dan memerintahkan orang-orang agar segera berangkat di malam hari. Di saat semua orang sedang berkemas-kemas hendak berangkat, aku keluar untuk membuang hajat, aku terus kembali hendak bergabung dengan rombongan. Pada saat itu kuraba-raba kalung leherku, ternyata sudah tak ada lagi. Aku lalu kembali lagi ke tempat aku membuang hajatku tadi untuk mencari kalung hingga dapat kutemukan kembali.
Di saat aku sedang mencari-cari kalung, datanglah orang-orang yang bertugas melayani unta tungganganku. Mereka sudah siap segala-galanya. Mereka menduga aku berada di dalam haudaj (rumah kecil terpasang di atas punggung unta) sebagaimana dalam perjalanan, oleh sebab itu haudaj lalu mereka angkat kemudian diikatkan pada punggung unta. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa aku tidak berada di dalam haudaj. Karena itu mereka segera memegang tali kekang unta lalu mulai berangkat.
Ketika aku kembali ke tempat perkemahan, tidak aku jumpai seorang pun yang masih tinggal. Semuanya telah berangkat. Dengan berselimut jilbab aku berbaring di tempat itu. Aku berfikir, pada saat mereka mencari-cari aku tentu mereka akan kembali lagi ke tempatku. Demi Allah, di saat aku sedang berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Mu‘atthal lewat. Agaknya ia bertugas di belakang pasukan. Dari kejauhan ia melihat bayang-bayangku. Ia mendekat lalu berdiri di depanku, ia sudah mengenal dan melihatku sebelum kaum wanita dikenakan wajib berhijab. Ketika melihatku ia berucap: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un! Istri Rasulullah?“ Aku pun terbangun oleh ucapan itu. Aku tetap menutup diriku dengan jilbabku .. Demi Allah, kami tidak mengucapkan satu kalimat pun dan aku tidak mendengar ucapan darinya kecuali ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un itu. Kemudian dia merendahkan untanya lalu aku menaikinya. Ia berangkat menuntun unta kendaraan yang aku naiki sampai kami datang di Nahri Adh-Dhahirah tempat pasukan turun istirahat. Di sinilah mulai tersiar fitnah tentang diriku. Fitnah ini bersumber dari mulut Abdullah bin Ubay bin Salul.
Aisyah Ra melanjutkan : Setibanya di Madinah kesehatanku terganggu selama sebulan. Saat itu rupanya orang-orang sudah banyak berdesas-desus berita bohong itu, sementara aku belum mendengar sesuatu mengenainya. Hanya saja aku tidak melihat kelembutan dari Rasulullah Saw, yang biasa kurasakan ketika aku sakit. Beliau hanya masuk lalu mengucapkan salam dan bertanya: “Bagaimana keadaanmu?“ Setelah agak sehat aku keluar pada suatu malam bersama Ummu Masthah untuk membuang hajat. Waktu itu kami belum membuat kakus. Di saat kami pulang, tiba-tiba kaki Ummu Mastha terantuk sehingga kesakitan dan terlontar ucapan dari mulutnya: “Celaka si Masthah!“ Ia kutegur: “Alangkah buruknya ucapanmu itu mengenai seorang dari kaum Muhajirin yang turut serta dalam perang Badr?“ Ummu Masthah bertanya :“Apakah anda tidak mendengar apa yang dikatakannya?“ Aisyah Ra melanjutkan: Ia kemudian menceritakan kepadaku tentang berita bohong yang tersiar sehingga sakitku bertambah parah … Malam itu aku menangis hingga pagi hari, air mataku terus menetes dan aku tidak dapat tidur.
Kemudian Rasulullah Saw mulai meminta pandangan para sahabatnya mengenai masalah ini. Di antara mereka ada yang berkata: “Wahai Rasulullah mereka (para istri Nabi) adalah keluargamu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan.“ Dan ada pula yang mengatakan: “Engkau tak perlu bersedih, masih banyak wanita (lainnya). Tanyakan hal itu kepada pelayan perempuan (maksudnya Barirah). Ia pasti memberi keterangan yang benar kepada anda!“
Rasulullah Saw lalu memanggil pelayan perempuan bernama Barirah, dan bertanya: “Apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakan dari Aisyah?“ Ia mengabarkan kepada Nabi Saw, bahwa ia tidak mengetahui Aisyah kecuali sebagai orang yang baik-baik. Kemudian Nabi Saw berdiri di atas mimbar dan bersabda:
“Wahai kaum Muslimin! Siapa yang akan membelaku dari seorang lelaki yang telah menyakiti keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari keluargaku kecuali yang baik. Sesungguhnya mereka telah menyebutkan seorang lelaki yang aku tidak mengenal lelaki itu kecuali sebagai orang yang baik.“
Sa‘ad bin Muadz lalu berdiri seraya berkata: “Aku yang akan membelamu dari orang itu wahai Rasulullah Saw! Jika dia dari suku Aus, kami siap penggal lehernya. Jika dia dari saudara kami suku Khazraj maka perintahkanlah kami, kami pasti akan melakukannya.“ Maka timbullah keributan di masjid sampai Rasulullah Saw meredakan mereka.
Aisyah Ra melanjutkan: “Kemudian Rasulullah Saw datang ke rumahku. Saat itu ayah-ibuku berada di rumah. Ayah-ibuku menyangka bahwa tangisku telah menghancurluluhkan hatiku. Sejak tersiar berita bohong itu Nabi Saw tidak pernah duduk di sisiku. Selama sebulan beliau tidak mendapatkan wahyu tentang diriku. Aisyah Ra berkata: “Ketika duduk Nabi Saw membaca puji syukur ke hadirat Allah Swt lalu bersabda: “Hai Aisyah, aku telah mendengar mengenai apa yang dibicarakan orang tentang dirimu. Jika engkau tidak bersalah maka Allah Swt, pasti akan membebaskan dirimu. Jika engkau telah melakukan dosa maka mintalah ampunan kepada Allah Swt dan taubatlah kepada-Nya.“ Seusai Rasulullah Saw mengucapkan ucapan itu, tanpa kurasakan air mataku tambah bercucuran. Kemudian aku katakan kepada ayahku: “Berilah jawaban kepada Rasulullah Saw mengenai diriku“ Ayahku menjawab: “Demi Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab.“ Aku katakan pula kepada ibuku: “Berilah jawaban mengenai diriku.“ Dia pun menjawab: “Demi Allah aku tidak tahu bagaimana harus menjawab:“ Lalu aku berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kalian telah mendengar hal itu sehingga kalian telah membenarkannya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah kalian pasti tidak akan membenarkannya. Jika aku mengakuinya Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah, pasti kalian akan membenarkan aku. Demi Allah aku tidak menemukan perumpamaan untuk diriku dan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh bapak Nabi Yusuf As : “Sebaiknya aku bersabar. Kepada Allah Swt sajalah aku mohon pertolongan atas apa yang kalian lukiskan,“ QS Yusuf : 18
Aisyah Ra berkata : Kemudian aku pindah dan berbaring di tempat tidurku. Selanjutnya ia berkata: Demi Allah, Rasulullah Saw belum bergerak dari tempat duduknya, juga belum ada seorang pun dari penghuni rumah yang keluar sehingga Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Beliau tampak lemah lunglai seperti biasanya tiap hendak menerima wahyu Ilahi, keringatnya bercucuran karena beratnya wahyu yang diturunkan kepadanya. Aisyah berkata: Kemudian keringat mulai berkurang dari badan Rasulullah Saw lalu beliau tampak tersenyum. Ucapan yang pertama kali terdengar ialah: “Bergembiralah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membebaskan kamu.“ Kemudian ibuku berkata: “Berdirilah (berterimahkasihlah) kepadanya.“ Aku jawab :”Tidak! Demi Allah, aku tidak akan berdiri (berterima kasih) kepadanya (Nabi Saw) dan aku tidak akan memuji kecuali Allah. Karena Dialah yang telah menurunkan pembebasanku.“ Aisyah Ra berkata: Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar…. Sampai dengan ayat 21 … „ QS an-Nur : 11-21
Aisyah melanjutkan: Sebelum peristiwa ini ayahku membiayai Mastha karena kekerabatan dan kemiskinannya. Tetapi setelah peristiwa ini ayahku berkata: Demi Allah, saya tidak akan membiayainya lagi karena ucapan yang diucapkan kepada Aisyah. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya). Orang –orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ QS An-Nur : 22
Lalu Abu Bakar berkata : Demi Allah, sungguh aku ingin mendapatkan ampun Allah. Kemudian ia kembali membiayai Masthah.
Kemudian Nabi Saw keluar dan menyampaikan khutbah kepada orang-orang dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diturunkan mengenai masalah ini. Selanjutnya Nabi Saw memerintahkan supaya dilakukan hukum hadd (dera) kepada Masthah bin Utsatsah, Hasan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy karena mereka termasuk orang-orang yang ikut menyebarluaskan desas-desus berita fitnah tersebut.
Ibrah dari kisah
Jika kita cermati kisah berita bohong di atas, ada beberapa pelajaran tarbawi yang bisa kita ambil, diantaranya:
Pertama, fitnah itu bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Dalam kasus berita bohong ini, yang menjadi korbannya adalah Rasulullah Saw yang ketika itu sebagai panglima perang, pimpinan pemerintahan dan kepala rumah tangga. Jika Rasulullah Saw saja difitnah, konon lagi kita hamba yang tidak ma’shum ini.
Kedua, berbaik sangka terlebih dahulu dan jangan menerima isu begitu saja, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah di sisi Allah adalah pendusta.” (QS. An Nur :13)
“wahai orang-orang yangberiman, jauhilah olehmu akan buruk sangka karena sebagian dari persangkaan itu dosa. Dan janganlah mencari kesalahan dan jangan kalian saling menceritakan keburukan. Apakah salah satu diantara kamu mau memakan daging saudaranya maka tentu kamu akan meresa jijik. Dan bertaqwalah kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S.Al-Hujurat : 12)
Berita apa pun yang tidak diperkuat dengan bukti, harus ditolak oleh setiap muslim. Hendaklah pula dia menyadari bahwa menceritakan isu kepada orang lain dan menularkan berita yang tidak diperkuat dengan bukti akan mengubah statusnya menjadi pendusta. ( An-Nur 13). Ini adalah ketetapan Al-Qur’an terhadap mereka adalah pendusta di sisi Allah, sekalipun orang itu sebenarnya bukanlah yang mengada-ngada berita tersebut dan sekalipun dia sekedar menukilkan dengan sejujurnya apa yang sebenarnya dia dengar dari seseorang.
Ketiga, untuk menimbang secara cermat dalam menilai benar-tidaknya suatu isu, bandingkanlah pribadi orang yang diisukan itu dengan diri anda sendiri. Dengan demikian, pastilah anda akan tetap memercayai teman Anda itu seperti halnya memercayai diri anda sendiri. Cara menimbang seperti itu diakui dan dipuji oleh Al-Qur’an, yaitu berkenaan dengan suatu perbincangan antara Abu Ayyub Al Anshari dengan istrinya, Ummu Ayub Ra. Wanita itu berkata: ”Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan orang mengenai Aisyah?”. “Ya, tapi itu bohong,” jawab si suami, “Apakah kamu melakukannya juga, hai ummu Ayyub?”. “Tidak, demi Allah,”kata si istri, “Mengapa aku harus meniru orang-orang itu?”. Abu Ayyub menegaskan, “Demi Allah, Aisyah itu lebih baik darimu.” (Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, II/303).
Ikhwah fillah, yang masih juga menyebarluaskan isu mengenai temannya atau pemimpinnya, kiranya coba menghitung-hitung, benarkah temannya atau pemimpinnya itu lebih jelek perhatiannya terhadap agama ketimbang dirinya dan benarkah keduanya lebih rapuh kepatuhannya kepada agama dan lebih rendah budinya ketimbang dirinya? Andaikan menimbang diri seperti itu dia lakukan pastilah prasangka buruk itu akan musnah dari pikirannya dan robohlah kabar bohong itu sampai ke akar-akarnya.
Keempat, jangan sekali-kali membiarkan hawa nafsu ikut campur dan berperan dalam menyelesaikan soal tersebarnya kabar bohong. Ada dua contoh yang saling berlawanan berkenaan dengan berita bohong tersebut di atas. Yang satu lebih suka memperturutkan hawa nafsu, sedangkan yang lain tidak. Dua contoh itu ditampilkan oleh dua wanita muslimat bersaudara kandung. Yang pertama ialah Zainab binti Jahsy Ra, salah seorang istri Rasulullah Saw dan yang kedua ialah Hamnah binti Jahsy Ra.
Al Muqrizi telah meriwayatkan dari Zainab tentang dialog yang dilakukannya dengan Rasulullah Saw, di mana istri yang baik budi itu mengatakan kepada suaminya, “Terpeliharalah kiranya pendengaranku dan penglihatanku. Aku tidak melihat pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Demi Allah, aku tak pernah mengajaknya bicara dan aku memang benar-benar mendiamkannya, tetapi aku hanya mengatakan yang benar.” (Al Muqrizi, Imta’ul Asma’ 1/208).
Jika seorang ‘madu’ sedemikian hebatnya mampu menahan hawa nafsunya untuk tidak ikut-ikut menyebarkan isu, itu menunjukkan betapa tinggi derajat keluhuran budi yang telah dicapai oleh wanita Muslimat ini. Kemudian menyatakan bahwa Zainab sama sekali tidak terlibat dalam menyebarkan berita bohong ini. Dalam suatu pembicaraan, Aisyah Ra bahkan pernah mengatakan, “Tidak seorang pun yang menyaingiku di sisi Rasulullah Saw selain Zainab binti jahsy.” Dengan pernyataan ini, agaknya Aisyah menempatkan Zainab pada posisinya secara tepat dalam persaingannya dengan dirinya sebagai sesama istri Rasulullah Saw. Namun demikian, dia tidak berkeberatan untuk memuji madunya itu berkenaan dengan kasus berita bohong tersebut. Aisyah mengatakan, “Adapun Zainab benar-benar dipelihara Allah, berkat kepatuhannya kepada agamanya. Dia tidak berkata apa-apa.”
Lain halnya dengan sikap kedua yang ditunjukkan oleh Hammah, saudara perempuan kandung Zainab. Dia justru ikut menyebarluaskan berita bohong itu dari rumah ke rumah, seolah-olah tak ada halangan apa pun di depan matanya, meski semua itu sebenarnya dia lakukan demi membela posisi Zainab di sisi Rasulullah Saw. Sampai-sampai Aisyah berkata, menanggapi perbuatan saudara madunya itu, “Adapun saudara perempuan Zainab, Hammah, dia menyebarkan berita bohong itu seluas-luasnya. Dia melawan aku demi saudaranya. Tapi gara-gara itu, dia celaka.”
Bagaimanapun, kita kagum sekali kepada Aisyah Ra. Karena ternyata dia mampu membedakan antara dua sikap yang berbeda dari kedua wanita bersaudara kandung itu dan sama sekali tidak menimpakan kepada Zainab kesalahan yang dilakukan saudaranya itu.
Kelima, beban terberat dalam mengahdapi haditsul-ifki adalah sikap yang mesti diambil oleh orang yang diisukan.
Adapun manhaj yang harus menjadi pegangan dalam hal ini ialah janganlah membalas berita bohong dengan berita bohong yang lain dan janganlah membalas isu yang dusta dengan isu lain yang serupa. Hendaklah pula orang yang diisukan itu mampu menahan diri. Maksudnya, jangan membiarkan lidahnya berbicara yang melanggar kehormatan orang lain, sekalipun orang lain itu telah menganiaya dirinya, sampai terbukti dirinya benar dan tidak bersalah. Inilah sikap yang sangat penting, yang kita serukan kepada siapa pun yang sedang terkena isu. Kita perhatikan teladan yang baik yang telah dicontohkan oleh tiga contoh yang terlanggar kehormatannya dalam kasus haditsul ifki tersebut di atas.
Muhammad Rasulullah Saw, junjungan seluruh umat manusia, yang diwaktu itu beliau juga berstatus sebagai panglima, kepada negara, dan pemegang kekuasaan. Dengan hanya satu isyarat saja dari beliau, sebenarnya dapat saja melayang nyawa siapa pun yang berani mempecundangi kehormatan beliau. Namun demikian, dalam menghadapi masalah ini -setelah bermusyawarah dengan para sahabatnya yang terkemuka- beliau hanya berpidato di hadapan kaum muslimin di atas mimbar seraya berpesan, setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, “Hai sekalian manusia, mengapa ada orang-orang yang menyakitiku mengenai keluargaku dan mengatakan yang tidak benar mengenai mereka. Demi Allah, aku lihat keluargaku baik-baik saja. Orang-orang itupun mengatakan pula hal yang serupa terhadap seorang lelaki, yang demi Allah, aku lihat dia pun baik-baik saja dan dia tak pernah masuk ke salah satu rumah di antara rumah-rumah (keluarga)ku kecuali bersamaku.”
Begitu pula terjadi suatu krisis hubungan antara dua kelompok, Aus dan Khazraj, berkenaan dengan berita bohong ini, Rasulullah Saw tak lebih hanya menjadi penengah, sekalipun salah satu pihak menyatakan pembelaannya terhadap orang-orang yang terlibat dalam mencaci maki Aisyah sedang yang lain menyerangnya dengan berbagai tuduhan. Walaupun demikian, beliau hanya meredakan emosi masing-masing dan tidak berpihak kepada siapapun karena beliau tidak memiliki bukti-bukti untuk membantah pihak yang menuduh. Walaupun ketika Shafwan Ra melampiasakan kekesalannya yang amat sangat dalam membela dirinya, lalu dipukulnya Hasan bin Tsabit atas tuduhannya, Rasulullah Saw tetap tidak mendorongnya atau pun memberinya semangat untuk meneruskan tindakannya itu selagi belum ada bukti, padahal beliau tengah berupaya membersihkan segala tuduhan atas diri orang yang paling ia cintai, Aisyah Ra.
Pada waktu itu, Hassan maupun Shafwan telah hadir di hadapan Rasulullah Saw. Marilah kita perhatikan pengadilan yang tenang itu terhadap dua orang prajurit yang telah bertindak melampaui batas. Shafwan Ibnul Mu’athal berkata, “Ya Rasul Allah, dia telah menyakiti hatiku dan mengejekku, lalu aku marah sampai aku memukulnya.” Bersabdalah Rasulullah Saw kepada Hassan, “Bersikap baiklah kamu hai Hassan, Tegakah kamu menjelek-jelekkan kaumku, padahal Allah telah menunjuki mereka kepada Islam?” Beliau lalu menasehatinya pula seraya bersabda, “Berbuat baiklah kamu, hai Hassan, mengenai pukulan yang telah menimpa dirimu.” Hassan pun menerima nasihat beliau, lalu dia serahkan diyat (denda) atas pukulan itu kepada beliau, seraya berkata, “Diyat-nya untukmu wahai Rasul Allah.” Menurut riwayat Ibnu Ishak, “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Ibrahim bahwa Rasulullah Saw kemudian memberi Hassan sebidang tanah sebagai pengganti dari diyatnya itu dan ditambahnya pula dengan seorang budak wanita mesir bernama Sirin. Wanita itu dikemudian hari melahirkan untuknya seorang anak bernama Abdurrahman bin Hassan.” (Ibnu Hisyam, II/305-306)
Demikian pukulan yang di lakukan Shafwan terhadap Hassan telah dibayar dengan sebidang tanah dan seorang budak wanita. Rasulullah-lah yang membayarnya kepada Hassan bin Tsabit, setelah dia menyatakan memberi maaf kepada Shafwan Ibnu Mu’aththal, padahal orang yang diberi itu tadinya telah mengubah sya’ir yang berisi tuduhan terhadap istri beliau sendiri dan dengan sya’irnya itu ia pergi ke mana-mana menyebarluaskan isu itu tanpa henti.
Abu Bakar Ra dan istrinya, Ummu Ruman. Mereka berdua telah mendapat cobaan luar biasa yang tak pernah menimpa seorang Muslim lainnya. Walau demikian, yang dikatakan oleh ibu yang penyabar itu, yang telah dipecundangi kehormatannya, dikecam dan dihina, tak lebih dari, “Anakku, tenangkan dirimu. Demi Allah, seorang wanita cantik menjadi istri seorang lelaki yang mencintainya, sedangkan isteri-isterinya pun banyak, jarang sekali yang luput dari omongan-omongan yang di lontarkan oleh isteri-isterinya maupun oleh orang lain.” Adapun Abu Bakar Ra tak bisa berbicara apa-apa selain, “Saya tak pernah melihat satupun keluarga di kalangan bangsa Arab yang mengalami cobaan seperti yang dialami keluarga Abu bakar. Demi Allah, omongan-omongan ini tak pernah di ucapkan orang terhadap kami di zaman Jahiliyah, di kala kami tidak menyembah Allah. Tetapi, di masa Islam, justru kami mengalaminya!”
Aisyah, yang tak henti-hentinya menangis sehingga dia yakin tangis itu akan menghentikan detak jantungnya. Ketika dia berhadapan dengan Rasulullah Saw dan beliaupun menanyakan kepadanya mengenai berita itu, dan dia hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku, demi Allah, telah tahu betul bahwa tuan-tuan telah mendengar berita ini, lalu hati tuan tuan-tuan termakan olehnya lalu mempercayainya. Jadi, kalaupun aku katakan kepada tuan-tuan bahwa aku tidak bersalah, tuan-tuan takkan mempercayaiku. Kalau pun aku mengakui kepada tuan-tuan tentang sesuatu, yang Allah pasti tahu aku bersih darinya, barulah tuan-tuan akan mempercayaiku. Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak mendapatkan suatu teladan untuk diriku selain ayah nabi Yusuf ketika dia berkata, “….maka kesabaran baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah di mohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu sekalian ceritakan. (QS. Yusuf : 18).
Sungguh, itulah sikap yang tiada taranya dalam sejarah dari sebuah keluarga paling suci di muka bumi ini. Mereka dipecundangi kehormatan dan kemuliaanya, namun tidak seorang pun dari mereka yang keluar batas dan tidak terlontar sepatah kata pun dari mereka yang meninggung perasaan orang lain, bahkan masing-masing tetap mampu mengendalikan urat sarafnya. Adapun yang keluar batas hanyalah Shafwan Ibnu Mu’aththal Ra. Saking kesalnya, dia pukul Hassan dengan pedangnya dan hampir saja ketelanjurannya mengakibatkan perisyiwa besar seandainya tidak segera dilerai oleh Rasulullah Saw. Demikianlah adab Islam yang luhur terhadap orang-orang yang menyebarluaskan isu yang keliru dan berita bohong.
Keenam, menghukum orang-orang yang terpedaya yang terlibat dalam menyebarkan fitnah. Dengan demikian, berarti tidak cukup dengan pernyataan bahwa si tertuduh tidak bersalah dan menolak segala perkataan buruk yang dilontarkan kepada pihak yang terkena fitnah, lalu selesai masalah. Harus ada hukuman tegas yang dilaksanakan di tengah masyarakat muslim terhadap siapa pun yang menyebarkan isu, setelah dilakukan pemeriksaan secermat-cermatnya. Contoh, hukum Islam terhadap tiga tokoh penyebar berita bohong tersebut, Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hammah binti Jahsy, ialah dijatuhkannya hukuman had al-qadzaf kepada mereka, yakni didera delapan puluh kali, sekalipun ada sebagian riwayat yang menyatakan bahwa jenis hukuman ini baru diterapkan sesudah itu. Jadi, tidak dilaksanakan terhadap ketiga orang itu. Hal ini karena mereka melakukan tuduhan sebelum turunnya ayat mengenai hukuman-hukuman had.
Ketujuh, dari kisah ini semakin jelas pertarungan antara haq dan batil. Bahwa kebatilan akan memanfaatkan sekecil apapun kesempatan untuk memojokkan jamaah islam.
Kedelapan, marilah kita menjaga diri kita, keluarga kita dari segala macam yang membuat kita tertuduh dan terfitnah. Tentunya dengan cara meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Swt dan berupaya senantiasa merasakan kebersamaanNYA.
Ya Allah jagalah kami dengan Islam dalam keadaan berdiri. Ya Allah jagalah kami dengan Islam dalam keadaan duduk dan jagalah kami dengan Islam dalam keadaan tidur. Jangan jayakan orang-orang kafir atas kami. Amin.
Baca Selengkapnya..
Arahan surat An-Nur tentang fitnah
“Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa perbuatan mereka itu membawa akibat buruk bagi kamu, bahkan itu membawa kebaikan bagimu. Setiap orang akan mendapatkan hukuman dari sebab dosa yang dibuatnya itu. Dan orang yang mengambil bagian terbesar akan mendapatkan siksaan yang besar pula.”(Q.S:24:11)
Pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat di atas diantaranya:
1. Penyebar fitnah itu bagian dari kaum muslimin.
2. Rangkaian fitnah itu jangan disangka berakibat buruk bagimu.
3. Ujian berupa fitnah tersebut berdampak baik untuk kaum muslimin.
4. Penyebar fitnah akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan perbuatannya.
5. Aktor dari penyebar fitnah itu akan mendapatkan ganjaran yang besar.
Sikap kita terhadap rangkaian fitnah menurut surat An-Nur 11-16
1. Berbaik sangka terhadap orang yang difitnah.
2. Membentengi diri dengan mengatakan bahwa ini merupakan kebohongan besar.
3. Harus ada bukti disertai sikap tabayyun.
4. Bersikap untuk tidak menyebarkannya karena merasa tidak berhak.
5. Memperbanyak zikir.
Kisah fitnah dalam sirah
Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy dalam bukunya Fiqih Sirah yang diterjemah oleh Aunur Rafiq Shaleh Tamhid menceritakan kepada kita tentang berita bohong (haditsul ifki), sebagaiberikut:
“ Dalam perjalanan pulang kaum muslimin dari perang Bani Mustahliq, tersiar berita bohong bertujuan merusak keluarga Nabi Saw. Aisyah Ra meriwayatkan bahwa dalam perjalanan ini ia ikut keluar bersama Rasulullah Saw. Aisyah Ra berkata: “Setelah selesai dari peperangan ini, Rasulullah Saw bergegas pulang dan memerintahkan orang-orang agar segera berangkat di malam hari. Di saat semua orang sedang berkemas-kemas hendak berangkat, aku keluar untuk membuang hajat, aku terus kembali hendak bergabung dengan rombongan. Pada saat itu kuraba-raba kalung leherku, ternyata sudah tak ada lagi. Aku lalu kembali lagi ke tempat aku membuang hajatku tadi untuk mencari kalung hingga dapat kutemukan kembali.
Di saat aku sedang mencari-cari kalung, datanglah orang-orang yang bertugas melayani unta tungganganku. Mereka sudah siap segala-galanya. Mereka menduga aku berada di dalam haudaj (rumah kecil terpasang di atas punggung unta) sebagaimana dalam perjalanan, oleh sebab itu haudaj lalu mereka angkat kemudian diikatkan pada punggung unta. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa aku tidak berada di dalam haudaj. Karena itu mereka segera memegang tali kekang unta lalu mulai berangkat.
Ketika aku kembali ke tempat perkemahan, tidak aku jumpai seorang pun yang masih tinggal. Semuanya telah berangkat. Dengan berselimut jilbab aku berbaring di tempat itu. Aku berfikir, pada saat mereka mencari-cari aku tentu mereka akan kembali lagi ke tempatku. Demi Allah, di saat aku sedang berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Mu‘atthal lewat. Agaknya ia bertugas di belakang pasukan. Dari kejauhan ia melihat bayang-bayangku. Ia mendekat lalu berdiri di depanku, ia sudah mengenal dan melihatku sebelum kaum wanita dikenakan wajib berhijab. Ketika melihatku ia berucap: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un! Istri Rasulullah?“ Aku pun terbangun oleh ucapan itu. Aku tetap menutup diriku dengan jilbabku .. Demi Allah, kami tidak mengucapkan satu kalimat pun dan aku tidak mendengar ucapan darinya kecuali ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un itu. Kemudian dia merendahkan untanya lalu aku menaikinya. Ia berangkat menuntun unta kendaraan yang aku naiki sampai kami datang di Nahri Adh-Dhahirah tempat pasukan turun istirahat. Di sinilah mulai tersiar fitnah tentang diriku. Fitnah ini bersumber dari mulut Abdullah bin Ubay bin Salul.
Aisyah Ra melanjutkan : Setibanya di Madinah kesehatanku terganggu selama sebulan. Saat itu rupanya orang-orang sudah banyak berdesas-desus berita bohong itu, sementara aku belum mendengar sesuatu mengenainya. Hanya saja aku tidak melihat kelembutan dari Rasulullah Saw, yang biasa kurasakan ketika aku sakit. Beliau hanya masuk lalu mengucapkan salam dan bertanya: “Bagaimana keadaanmu?“ Setelah agak sehat aku keluar pada suatu malam bersama Ummu Masthah untuk membuang hajat. Waktu itu kami belum membuat kakus. Di saat kami pulang, tiba-tiba kaki Ummu Mastha terantuk sehingga kesakitan dan terlontar ucapan dari mulutnya: “Celaka si Masthah!“ Ia kutegur: “Alangkah buruknya ucapanmu itu mengenai seorang dari kaum Muhajirin yang turut serta dalam perang Badr?“ Ummu Masthah bertanya :“Apakah anda tidak mendengar apa yang dikatakannya?“ Aisyah Ra melanjutkan: Ia kemudian menceritakan kepadaku tentang berita bohong yang tersiar sehingga sakitku bertambah parah … Malam itu aku menangis hingga pagi hari, air mataku terus menetes dan aku tidak dapat tidur.
Kemudian Rasulullah Saw mulai meminta pandangan para sahabatnya mengenai masalah ini. Di antara mereka ada yang berkata: “Wahai Rasulullah mereka (para istri Nabi) adalah keluargamu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan.“ Dan ada pula yang mengatakan: “Engkau tak perlu bersedih, masih banyak wanita (lainnya). Tanyakan hal itu kepada pelayan perempuan (maksudnya Barirah). Ia pasti memberi keterangan yang benar kepada anda!“
Rasulullah Saw lalu memanggil pelayan perempuan bernama Barirah, dan bertanya: “Apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakan dari Aisyah?“ Ia mengabarkan kepada Nabi Saw, bahwa ia tidak mengetahui Aisyah kecuali sebagai orang yang baik-baik. Kemudian Nabi Saw berdiri di atas mimbar dan bersabda:
“Wahai kaum Muslimin! Siapa yang akan membelaku dari seorang lelaki yang telah menyakiti keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari keluargaku kecuali yang baik. Sesungguhnya mereka telah menyebutkan seorang lelaki yang aku tidak mengenal lelaki itu kecuali sebagai orang yang baik.“
Sa‘ad bin Muadz lalu berdiri seraya berkata: “Aku yang akan membelamu dari orang itu wahai Rasulullah Saw! Jika dia dari suku Aus, kami siap penggal lehernya. Jika dia dari saudara kami suku Khazraj maka perintahkanlah kami, kami pasti akan melakukannya.“ Maka timbullah keributan di masjid sampai Rasulullah Saw meredakan mereka.
Aisyah Ra melanjutkan: “Kemudian Rasulullah Saw datang ke rumahku. Saat itu ayah-ibuku berada di rumah. Ayah-ibuku menyangka bahwa tangisku telah menghancurluluhkan hatiku. Sejak tersiar berita bohong itu Nabi Saw tidak pernah duduk di sisiku. Selama sebulan beliau tidak mendapatkan wahyu tentang diriku. Aisyah Ra berkata: “Ketika duduk Nabi Saw membaca puji syukur ke hadirat Allah Swt lalu bersabda: “Hai Aisyah, aku telah mendengar mengenai apa yang dibicarakan orang tentang dirimu. Jika engkau tidak bersalah maka Allah Swt, pasti akan membebaskan dirimu. Jika engkau telah melakukan dosa maka mintalah ampunan kepada Allah Swt dan taubatlah kepada-Nya.“ Seusai Rasulullah Saw mengucapkan ucapan itu, tanpa kurasakan air mataku tambah bercucuran. Kemudian aku katakan kepada ayahku: “Berilah jawaban kepada Rasulullah Saw mengenai diriku“ Ayahku menjawab: “Demi Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab.“ Aku katakan pula kepada ibuku: “Berilah jawaban mengenai diriku.“ Dia pun menjawab: “Demi Allah aku tidak tahu bagaimana harus menjawab:“ Lalu aku berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kalian telah mendengar hal itu sehingga kalian telah membenarkannya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah kalian pasti tidak akan membenarkannya. Jika aku mengakuinya Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah, pasti kalian akan membenarkan aku. Demi Allah aku tidak menemukan perumpamaan untuk diriku dan kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh bapak Nabi Yusuf As : “Sebaiknya aku bersabar. Kepada Allah Swt sajalah aku mohon pertolongan atas apa yang kalian lukiskan,“ QS Yusuf : 18
Aisyah Ra berkata : Kemudian aku pindah dan berbaring di tempat tidurku. Selanjutnya ia berkata: Demi Allah, Rasulullah Saw belum bergerak dari tempat duduknya, juga belum ada seorang pun dari penghuni rumah yang keluar sehingga Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Beliau tampak lemah lunglai seperti biasanya tiap hendak menerima wahyu Ilahi, keringatnya bercucuran karena beratnya wahyu yang diturunkan kepadanya. Aisyah berkata: Kemudian keringat mulai berkurang dari badan Rasulullah Saw lalu beliau tampak tersenyum. Ucapan yang pertama kali terdengar ialah: “Bergembiralah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membebaskan kamu.“ Kemudian ibuku berkata: “Berdirilah (berterimahkasihlah) kepadanya.“ Aku jawab :”Tidak! Demi Allah, aku tidak akan berdiri (berterima kasih) kepadanya (Nabi Saw) dan aku tidak akan memuji kecuali Allah. Karena Dialah yang telah menurunkan pembebasanku.“ Aisyah Ra berkata: Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar…. Sampai dengan ayat 21 … „ QS an-Nur : 11-21
Aisyah melanjutkan: Sebelum peristiwa ini ayahku membiayai Mastha karena kekerabatan dan kemiskinannya. Tetapi setelah peristiwa ini ayahku berkata: Demi Allah, saya tidak akan membiayainya lagi karena ucapan yang diucapkan kepada Aisyah. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya). Orang –orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ QS An-Nur : 22
Lalu Abu Bakar berkata : Demi Allah, sungguh aku ingin mendapatkan ampun Allah. Kemudian ia kembali membiayai Masthah.
Kemudian Nabi Saw keluar dan menyampaikan khutbah kepada orang-orang dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diturunkan mengenai masalah ini. Selanjutnya Nabi Saw memerintahkan supaya dilakukan hukum hadd (dera) kepada Masthah bin Utsatsah, Hasan bin Tsabit dan Hamnah binti Jahsy karena mereka termasuk orang-orang yang ikut menyebarluaskan desas-desus berita fitnah tersebut.
Ibrah dari kisah
Jika kita cermati kisah berita bohong di atas, ada beberapa pelajaran tarbawi yang bisa kita ambil, diantaranya:
Pertama, fitnah itu bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Dalam kasus berita bohong ini, yang menjadi korbannya adalah Rasulullah Saw yang ketika itu sebagai panglima perang, pimpinan pemerintahan dan kepala rumah tangga. Jika Rasulullah Saw saja difitnah, konon lagi kita hamba yang tidak ma’shum ini.
Kedua, berbaik sangka terlebih dahulu dan jangan menerima isu begitu saja, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah di sisi Allah adalah pendusta.” (QS. An Nur :13)
“wahai orang-orang yangberiman, jauhilah olehmu akan buruk sangka karena sebagian dari persangkaan itu dosa. Dan janganlah mencari kesalahan dan jangan kalian saling menceritakan keburukan. Apakah salah satu diantara kamu mau memakan daging saudaranya maka tentu kamu akan meresa jijik. Dan bertaqwalah kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S.Al-Hujurat : 12)
Berita apa pun yang tidak diperkuat dengan bukti, harus ditolak oleh setiap muslim. Hendaklah pula dia menyadari bahwa menceritakan isu kepada orang lain dan menularkan berita yang tidak diperkuat dengan bukti akan mengubah statusnya menjadi pendusta. ( An-Nur 13). Ini adalah ketetapan Al-Qur’an terhadap mereka adalah pendusta di sisi Allah, sekalipun orang itu sebenarnya bukanlah yang mengada-ngada berita tersebut dan sekalipun dia sekedar menukilkan dengan sejujurnya apa yang sebenarnya dia dengar dari seseorang.
Ketiga, untuk menimbang secara cermat dalam menilai benar-tidaknya suatu isu, bandingkanlah pribadi orang yang diisukan itu dengan diri anda sendiri. Dengan demikian, pastilah anda akan tetap memercayai teman Anda itu seperti halnya memercayai diri anda sendiri. Cara menimbang seperti itu diakui dan dipuji oleh Al-Qur’an, yaitu berkenaan dengan suatu perbincangan antara Abu Ayyub Al Anshari dengan istrinya, Ummu Ayub Ra. Wanita itu berkata: ”Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan orang mengenai Aisyah?”. “Ya, tapi itu bohong,” jawab si suami, “Apakah kamu melakukannya juga, hai ummu Ayyub?”. “Tidak, demi Allah,”kata si istri, “Mengapa aku harus meniru orang-orang itu?”. Abu Ayyub menegaskan, “Demi Allah, Aisyah itu lebih baik darimu.” (Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, II/303).
Ikhwah fillah, yang masih juga menyebarluaskan isu mengenai temannya atau pemimpinnya, kiranya coba menghitung-hitung, benarkah temannya atau pemimpinnya itu lebih jelek perhatiannya terhadap agama ketimbang dirinya dan benarkah keduanya lebih rapuh kepatuhannya kepada agama dan lebih rendah budinya ketimbang dirinya? Andaikan menimbang diri seperti itu dia lakukan pastilah prasangka buruk itu akan musnah dari pikirannya dan robohlah kabar bohong itu sampai ke akar-akarnya.
Keempat, jangan sekali-kali membiarkan hawa nafsu ikut campur dan berperan dalam menyelesaikan soal tersebarnya kabar bohong. Ada dua contoh yang saling berlawanan berkenaan dengan berita bohong tersebut di atas. Yang satu lebih suka memperturutkan hawa nafsu, sedangkan yang lain tidak. Dua contoh itu ditampilkan oleh dua wanita muslimat bersaudara kandung. Yang pertama ialah Zainab binti Jahsy Ra, salah seorang istri Rasulullah Saw dan yang kedua ialah Hamnah binti Jahsy Ra.
Al Muqrizi telah meriwayatkan dari Zainab tentang dialog yang dilakukannya dengan Rasulullah Saw, di mana istri yang baik budi itu mengatakan kepada suaminya, “Terpeliharalah kiranya pendengaranku dan penglihatanku. Aku tidak melihat pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Demi Allah, aku tak pernah mengajaknya bicara dan aku memang benar-benar mendiamkannya, tetapi aku hanya mengatakan yang benar.” (Al Muqrizi, Imta’ul Asma’ 1/208).
Jika seorang ‘madu’ sedemikian hebatnya mampu menahan hawa nafsunya untuk tidak ikut-ikut menyebarkan isu, itu menunjukkan betapa tinggi derajat keluhuran budi yang telah dicapai oleh wanita Muslimat ini. Kemudian menyatakan bahwa Zainab sama sekali tidak terlibat dalam menyebarkan berita bohong ini. Dalam suatu pembicaraan, Aisyah Ra bahkan pernah mengatakan, “Tidak seorang pun yang menyaingiku di sisi Rasulullah Saw selain Zainab binti jahsy.” Dengan pernyataan ini, agaknya Aisyah menempatkan Zainab pada posisinya secara tepat dalam persaingannya dengan dirinya sebagai sesama istri Rasulullah Saw. Namun demikian, dia tidak berkeberatan untuk memuji madunya itu berkenaan dengan kasus berita bohong tersebut. Aisyah mengatakan, “Adapun Zainab benar-benar dipelihara Allah, berkat kepatuhannya kepada agamanya. Dia tidak berkata apa-apa.”
Lain halnya dengan sikap kedua yang ditunjukkan oleh Hammah, saudara perempuan kandung Zainab. Dia justru ikut menyebarluaskan berita bohong itu dari rumah ke rumah, seolah-olah tak ada halangan apa pun di depan matanya, meski semua itu sebenarnya dia lakukan demi membela posisi Zainab di sisi Rasulullah Saw. Sampai-sampai Aisyah berkata, menanggapi perbuatan saudara madunya itu, “Adapun saudara perempuan Zainab, Hammah, dia menyebarkan berita bohong itu seluas-luasnya. Dia melawan aku demi saudaranya. Tapi gara-gara itu, dia celaka.”
Bagaimanapun, kita kagum sekali kepada Aisyah Ra. Karena ternyata dia mampu membedakan antara dua sikap yang berbeda dari kedua wanita bersaudara kandung itu dan sama sekali tidak menimpakan kepada Zainab kesalahan yang dilakukan saudaranya itu.
Kelima, beban terberat dalam mengahdapi haditsul-ifki adalah sikap yang mesti diambil oleh orang yang diisukan.
Adapun manhaj yang harus menjadi pegangan dalam hal ini ialah janganlah membalas berita bohong dengan berita bohong yang lain dan janganlah membalas isu yang dusta dengan isu lain yang serupa. Hendaklah pula orang yang diisukan itu mampu menahan diri. Maksudnya, jangan membiarkan lidahnya berbicara yang melanggar kehormatan orang lain, sekalipun orang lain itu telah menganiaya dirinya, sampai terbukti dirinya benar dan tidak bersalah. Inilah sikap yang sangat penting, yang kita serukan kepada siapa pun yang sedang terkena isu. Kita perhatikan teladan yang baik yang telah dicontohkan oleh tiga contoh yang terlanggar kehormatannya dalam kasus haditsul ifki tersebut di atas.
Muhammad Rasulullah Saw, junjungan seluruh umat manusia, yang diwaktu itu beliau juga berstatus sebagai panglima, kepada negara, dan pemegang kekuasaan. Dengan hanya satu isyarat saja dari beliau, sebenarnya dapat saja melayang nyawa siapa pun yang berani mempecundangi kehormatan beliau. Namun demikian, dalam menghadapi masalah ini -setelah bermusyawarah dengan para sahabatnya yang terkemuka- beliau hanya berpidato di hadapan kaum muslimin di atas mimbar seraya berpesan, setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, “Hai sekalian manusia, mengapa ada orang-orang yang menyakitiku mengenai keluargaku dan mengatakan yang tidak benar mengenai mereka. Demi Allah, aku lihat keluargaku baik-baik saja. Orang-orang itupun mengatakan pula hal yang serupa terhadap seorang lelaki, yang demi Allah, aku lihat dia pun baik-baik saja dan dia tak pernah masuk ke salah satu rumah di antara rumah-rumah (keluarga)ku kecuali bersamaku.”
Begitu pula terjadi suatu krisis hubungan antara dua kelompok, Aus dan Khazraj, berkenaan dengan berita bohong ini, Rasulullah Saw tak lebih hanya menjadi penengah, sekalipun salah satu pihak menyatakan pembelaannya terhadap orang-orang yang terlibat dalam mencaci maki Aisyah sedang yang lain menyerangnya dengan berbagai tuduhan. Walaupun demikian, beliau hanya meredakan emosi masing-masing dan tidak berpihak kepada siapapun karena beliau tidak memiliki bukti-bukti untuk membantah pihak yang menuduh. Walaupun ketika Shafwan Ra melampiasakan kekesalannya yang amat sangat dalam membela dirinya, lalu dipukulnya Hasan bin Tsabit atas tuduhannya, Rasulullah Saw tetap tidak mendorongnya atau pun memberinya semangat untuk meneruskan tindakannya itu selagi belum ada bukti, padahal beliau tengah berupaya membersihkan segala tuduhan atas diri orang yang paling ia cintai, Aisyah Ra.
Pada waktu itu, Hassan maupun Shafwan telah hadir di hadapan Rasulullah Saw. Marilah kita perhatikan pengadilan yang tenang itu terhadap dua orang prajurit yang telah bertindak melampaui batas. Shafwan Ibnul Mu’athal berkata, “Ya Rasul Allah, dia telah menyakiti hatiku dan mengejekku, lalu aku marah sampai aku memukulnya.” Bersabdalah Rasulullah Saw kepada Hassan, “Bersikap baiklah kamu hai Hassan, Tegakah kamu menjelek-jelekkan kaumku, padahal Allah telah menunjuki mereka kepada Islam?” Beliau lalu menasehatinya pula seraya bersabda, “Berbuat baiklah kamu, hai Hassan, mengenai pukulan yang telah menimpa dirimu.” Hassan pun menerima nasihat beliau, lalu dia serahkan diyat (denda) atas pukulan itu kepada beliau, seraya berkata, “Diyat-nya untukmu wahai Rasul Allah.” Menurut riwayat Ibnu Ishak, “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Ibrahim bahwa Rasulullah Saw kemudian memberi Hassan sebidang tanah sebagai pengganti dari diyatnya itu dan ditambahnya pula dengan seorang budak wanita mesir bernama Sirin. Wanita itu dikemudian hari melahirkan untuknya seorang anak bernama Abdurrahman bin Hassan.” (Ibnu Hisyam, II/305-306)
Demikian pukulan yang di lakukan Shafwan terhadap Hassan telah dibayar dengan sebidang tanah dan seorang budak wanita. Rasulullah-lah yang membayarnya kepada Hassan bin Tsabit, setelah dia menyatakan memberi maaf kepada Shafwan Ibnu Mu’aththal, padahal orang yang diberi itu tadinya telah mengubah sya’ir yang berisi tuduhan terhadap istri beliau sendiri dan dengan sya’irnya itu ia pergi ke mana-mana menyebarluaskan isu itu tanpa henti.
Abu Bakar Ra dan istrinya, Ummu Ruman. Mereka berdua telah mendapat cobaan luar biasa yang tak pernah menimpa seorang Muslim lainnya. Walau demikian, yang dikatakan oleh ibu yang penyabar itu, yang telah dipecundangi kehormatannya, dikecam dan dihina, tak lebih dari, “Anakku, tenangkan dirimu. Demi Allah, seorang wanita cantik menjadi istri seorang lelaki yang mencintainya, sedangkan isteri-isterinya pun banyak, jarang sekali yang luput dari omongan-omongan yang di lontarkan oleh isteri-isterinya maupun oleh orang lain.” Adapun Abu Bakar Ra tak bisa berbicara apa-apa selain, “Saya tak pernah melihat satupun keluarga di kalangan bangsa Arab yang mengalami cobaan seperti yang dialami keluarga Abu bakar. Demi Allah, omongan-omongan ini tak pernah di ucapkan orang terhadap kami di zaman Jahiliyah, di kala kami tidak menyembah Allah. Tetapi, di masa Islam, justru kami mengalaminya!”
Aisyah, yang tak henti-hentinya menangis sehingga dia yakin tangis itu akan menghentikan detak jantungnya. Ketika dia berhadapan dengan Rasulullah Saw dan beliaupun menanyakan kepadanya mengenai berita itu, dan dia hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku, demi Allah, telah tahu betul bahwa tuan-tuan telah mendengar berita ini, lalu hati tuan tuan-tuan termakan olehnya lalu mempercayainya. Jadi, kalaupun aku katakan kepada tuan-tuan bahwa aku tidak bersalah, tuan-tuan takkan mempercayaiku. Kalau pun aku mengakui kepada tuan-tuan tentang sesuatu, yang Allah pasti tahu aku bersih darinya, barulah tuan-tuan akan mempercayaiku. Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak mendapatkan suatu teladan untuk diriku selain ayah nabi Yusuf ketika dia berkata, “….maka kesabaran baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah di mohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu sekalian ceritakan. (QS. Yusuf : 18).
Sungguh, itulah sikap yang tiada taranya dalam sejarah dari sebuah keluarga paling suci di muka bumi ini. Mereka dipecundangi kehormatan dan kemuliaanya, namun tidak seorang pun dari mereka yang keluar batas dan tidak terlontar sepatah kata pun dari mereka yang meninggung perasaan orang lain, bahkan masing-masing tetap mampu mengendalikan urat sarafnya. Adapun yang keluar batas hanyalah Shafwan Ibnu Mu’aththal Ra. Saking kesalnya, dia pukul Hassan dengan pedangnya dan hampir saja ketelanjurannya mengakibatkan perisyiwa besar seandainya tidak segera dilerai oleh Rasulullah Saw. Demikianlah adab Islam yang luhur terhadap orang-orang yang menyebarluaskan isu yang keliru dan berita bohong.
Keenam, menghukum orang-orang yang terpedaya yang terlibat dalam menyebarkan fitnah. Dengan demikian, berarti tidak cukup dengan pernyataan bahwa si tertuduh tidak bersalah dan menolak segala perkataan buruk yang dilontarkan kepada pihak yang terkena fitnah, lalu selesai masalah. Harus ada hukuman tegas yang dilaksanakan di tengah masyarakat muslim terhadap siapa pun yang menyebarkan isu, setelah dilakukan pemeriksaan secermat-cermatnya. Contoh, hukum Islam terhadap tiga tokoh penyebar berita bohong tersebut, Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hammah binti Jahsy, ialah dijatuhkannya hukuman had al-qadzaf kepada mereka, yakni didera delapan puluh kali, sekalipun ada sebagian riwayat yang menyatakan bahwa jenis hukuman ini baru diterapkan sesudah itu. Jadi, tidak dilaksanakan terhadap ketiga orang itu. Hal ini karena mereka melakukan tuduhan sebelum turunnya ayat mengenai hukuman-hukuman had.
Ketujuh, dari kisah ini semakin jelas pertarungan antara haq dan batil. Bahwa kebatilan akan memanfaatkan sekecil apapun kesempatan untuk memojokkan jamaah islam.
Kedelapan, marilah kita menjaga diri kita, keluarga kita dari segala macam yang membuat kita tertuduh dan terfitnah. Tentunya dengan cara meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Swt dan berupaya senantiasa merasakan kebersamaanNYA.
Ya Allah jagalah kami dengan Islam dalam keadaan berdiri. Ya Allah jagalah kami dengan Islam dalam keadaan duduk dan jagalah kami dengan Islam dalam keadaan tidur. Jangan jayakan orang-orang kafir atas kami. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar